Ancaman nuklir yang terus berlanjut di Semenanjung Korea masih menjadi faktor utama yang mengganggu stabilitas geopolitik di kawasan tersebut, sehingga diperlukan adanya kerjasama ekonomi strategis sebagai langkah menuju perdamaian. Hubungan antara Korea Utara dan Korea Selatan, yang selama ini penuh dengan dinamika, sering kali diwarnai oleh diplomasi yang tidak konsisten dan ketegangan yang meningkat, terutama sehubungan dengan program senjata nuklir Korea Utara.
Pengembangan nuklir Korea Utara sering kali dilihat sebagai langkah pencegahan sekaligus cara untuk mendapatkan pengaruh, yang menyebabkan peningkatan kesiapan militer dan isolasi ekonomi di pihak Korea Utara. Sebagai reaksi, Korea Selatan bersama sekutunya, khususnya Amerika Serikat, terus berupaya menyeimbangkan langkah pencegahan militer dengan insentif ekonomi yang bertujuan menciptakan stabilitas dan perdamaian di kawasan tersebut (Kim, 2024).
Kegagalan diplomatik yang terjadi baru-baru ini, seperti dalam KTT Hanoi tahun 2019, menyoroti adanya kesenjangan signifikan dalam pembicaraan mengenai denuklirisasi dan kerjasama ekonomi, sehingga semakin menegaskan perlunya pendekatan strategis yang menyeluruh untuk mencapai perdamaian. Kerangka kerja ini perlu mencakup aspek kolaborasi ekonomi dan keamanan (Kim, 2019).
Mendorong kolaborasi ekonomi antara Korea Utara dan Selatan serta melibatkan mitra internasional bisa menjadi salah satu cara untuk mengurangi ketegangan dan memperkuat hubungan damai. Contohnya, pembukaan kembali zona ekonomi bersama dan mengintegrasikan Korea Utara ke dalam inisiatif ekonomi yang lebih luas dapat menjadi solusi untuk memberikan Korea Utara alternatif dari ambisi nuklirnya, sekaligus berkontribusi pada stabilitas di kawasan tersebut (United States Institute of Peace, 2023).
Upaya Kolaborasi Ekonomi di Semenanjung Korea
Diplomasi di Semenanjung Korea, seperti yang terlihat pada kegagalan KTT Hanoi 2019, menyoroti tantangan besar dalam upaya denuklirisasi dan kerjasama ekonomi antara Korea Utara dan negara-negara lainnya. Kesenjangan ini menunjukkan pentingnya pendekatan strategis yang lebih menyeluruh yang tidak hanya fokus pada keamanan, tetapi juga pada aspek ekonomi.
Melibatkan Korea Utara dalam kerangka ekonomi yang lebih besar, serta mendorong kerjasama internasional, bisa menjadi cara yang efektif untuk mengurangi ketegangan dan mempromosikan stabilitas regional (Kim, 2019). Misalnya, pembukaan kembali zona ekonomi bersama antara Korea Utara dan Selatan dapat berfungsi sebagai langkah positif dalam mengurangi ketergantungan Korea Utara pada senjata nuklir dan mendukung stabilitas jangka panjang di kawasan (United States Institute of Peace, 2023).
Dalam hal ini, program nuklir Korea Utara seringkali digunakan sebagai alat tawar-menawar untuk memperoleh konsesi ekonomi dan keamanan dari negara lain, termasuk Amerika Serikat. Dengan kolaborasi ekonomi yang lebih kuat, Korea Utara dapat menemukan insentif untuk menghentikan program nuklirnya dan lebih fokus pada pembangunan ekonomi (Howe, 2019). Proyek seperti Tumen River Area Development menjadi contoh nyata bagaimana kerjasama ekonomi regional dapat membantu stabilitas dan memperkuat hubungan internasional di kawasan tersebut (Howe, 2016).
Kolaborasi ekonomi yang melibatkan kekuatan besar seperti Cina dan Rusia juga menunjukkan bahwa stabilitas di Semenanjung Korea dapat diperkuat melalui diplomasi yang melibatkan kepentingan strategis kedua negara ini. Upaya mereka, seperti proposal double freeze yang menghentikan uji coba nuklir Korea Utara sebagai imbalan untuk penghentian latihan militer AS-ROK, menegaskan pentingnya kerjasama ekonomi dan keamanan dalam meredakan ketegangan nuklir di kawasan tersebut (Wishnick, 2019). Dengan posisi strategis Semenanjung Korea, keterlibatan berbagai negara besar sangat penting untuk mencapai stabilitas jangka panjang (KEIA, 2023).
Sebagai bagian dari kelanjutan kerjasama ekonomi dan diplomasi di Semenanjung Korea, upaya denuklirisasi masih menghadapi berbagai tantangan akibat dinamika geopolitik yang kompleks. Salah satu aspek penting dalam proses ini adalah peran Cina dan Rusia, terutama melalui diplomasi multilateral seperti Six-Party Talks yang berfokus pada perundingan damai dan pengurangan ancaman nuklir dari Korea Utara. Meskipun ada beberapa kemajuan, proses ini sering kali terhambat oleh perbedaan kepentingan antar negara besar serta sikap keras Korea Utara (Oxford Academic, 2023).
Untuk mencapai denuklirisasi yang efektif, bukan hanya tindakan Korea Utara yang dibutuhkan, tetapi juga kolaborasi berkelanjutan dari semua pihak yang terlibat, seperti AS, Cina, Rusia, Jepang, dan Korea Selatan. Semua pihak perlu berperan dalam menjaga keamanan dan stabilitas jangka panjang. Dalam hal ini, Cina sering mendorong pendekatan diplomatik, meskipun kadang memperlambat proses demi menyeimbangkan kepentingan strategisnya dengan Amerika Serikat (Seoul National University, 2018). Dengan demikian, perdamaian dan stabilitas di Semenanjung Korea sangat bergantung pada komitmen bersama dalam memfasilitasi dialog terbuka serta memperkuat kerjasama ekonomi antar negara-negara kunci.