Lihat ke Halaman Asli

Bagaimana Hukum bagi Orang yang Tanpa Sadar Membawa Narkotika?

Diperbarui: 23 Juli 2020   20:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Source: pharmaceutical-technology.com

Kepolisian memiliki kewenangan dalam hal penyidikan dan penyelidikan, sesuai Pasal 1 Angka 1-5 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dalam praktiknya polisi selaku penyidik dan penyelidik diperkenankan untuk melakukan penggeledahan, sesuai yang tercantum pada Pasal 5 ayat 1 huruf b, Pasal 7 ayat 1, dan Pasal 32 KUHAP. Adapun beberapa jenis penggeledahan, yaitu

  • Penggeledahan Rumah

Menurut Pasal 1 Angka 17 KUHAP, Penyidik dapat memasuki rumah, tempat tinggal, dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan penangkapan, sesuai aturan yang berlaku

  • Penggeledahan Badan

Menurut Pasal 1 Angka 18 KUHAP, Penyidik dapat melakukan pemeriksaan badan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang ada pada badannya atau dibawanya serta untuk disita dan dijadikan barang bukti

Beberapa aturan yang sudah tercantum tersebut, melegalkan para penyidik dan penyelidik untuk melakukan penggeledahan untuk mencari barang bukti, namun permasalahannya, apakah orang yang tidak mengetahui atau tanpa disadari kedapatan membawa narkotika bisa dipidana? Tentu kita sebagai masyarakat yang awam pasti sangat mengecam tindakan penyidik dalam hal menahan tersangka, padahal belum tentu barang haram tersebut milik tersangka.

Hukum di Indonesia berpatokan kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana berpatokan kepada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), intinya kedua Kitab peninggalan Belanda itu masih dijadikan patokan untuk menentukan suatu tindakan dapat dikategorikan ke dalam pidana atau tidak. Khusus untuk kategoti narkotika ini, Indonesia memiliki Undang-Undang khusus untuk narkotika yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.

Polisi atau penyidik seringkali menggunakan Pasal 112 Ayat 1 UU Narkotika dalam hal dituduhkan kepada para tersangka yang memiliki narkoba tanpa didasari darimana seseorang tersebut mendapatkan narkotika tersebut, banyak kasus orang sengaja menjadi kurir untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, namun bagaimana jika menimpa orang-orang awam yang 'diberdayakan' oleh oknum tidak bertanggung jawab, dimana mereka dimanfaatkan karena 'ketidaktahuannya' tersebut, dengan tawaran yang cukup fantastis, misalnya 20 juta yang akan mereka dapatkan, itu sangat membuat kaum awam tersebut tergiur.

UU 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terbukti belum cukup kuat dalam hal mengatur khususnya kategori narkotika, UU tersebut tidak merinci dengan lengkap darimana narkotika yang dikuasasi itu diperoleh dan bagaimana cara seseorang menguasainya. Undang-Undang itu hanya menentukan ketika narkotika ditemukan berada dalam penguasaan seseorang, maka ia dianggap melawan hukum dan diancam pidana.

UU Nomor 35 Tahun 2009 khususnya Pasal 112 dimana ada sepenggal kalimat 'memiliki, menyimpan, dan menguasai' harus menyambung kepada kalimat 'adanya kemauan untuk memiliki benda itu', dua unsur tersebut harusnya tidak bisa dipisahkan, contoh sebuah kasus, polisi menemukan shabu di tas milik terdakwa, namun pada kenyataannya terdakwa memiliki sekumpulan 'haters' dan terdakwa tidak mengetahui darimana benda haram tersebut berasal, terdakwa juga tidak mengetahui siapa yang meletakkan barang tersebut, tidak mungkin orang diam dan awam dimasukkan ke dalam penjara, terlalu tekstual untuk menafsirkan pernyataan pada suatu aturan.

Keyakinan hakim dan alat bukti yang dihadirkan pada persidangan harus bisa membuat dasar putusan hakim. Terdakwa anak, dimana usianya masih dibawah 18 tahun dapat ditolong oleh Penelitian Kemasyarakatan (Litmas) yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan (PK), dalam hal ini PK harus benar-benar detail dalam hal melakukan observasi, yang nantinya akan dibacakan saat persidangan, tentunya akan menambah luas pengetahuan hakim dalam hal memutuskan perkara, hasil tes urin yang langsung dilakukan ketika penangkapan, serta keyakinan hakim untuk memutuskan seseorang terbukti bersalah atau tidak. Perlu diketahui selanjutnya, dalam hal terdakwa anak, bisa diputuskan bersalah, namun harus mengacu kepada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), disebutkan pada Pasal 79 bahwa anak bisa dijatuhi pidana namun paling lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum pidana penjara yang diancamkan terhadap orang dewasa. 

Artinya masih bisa seseorang dibebaskan, karena pembuktian yang dilakukan di meja pengadilan, terlebih kepada Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH). Tentunya sifat kooperatif dengan Aparat Penegak Hukum (APH) sangat diperlukan, karena polisi juga bertindak sebagai penyidik, dan memiliki kewenangan untuk melakukan penggeledahan, ditambah di Tempat Kejadian Perkara (TKP) didapatkan barang bukti, maka bisa saja seseorang yang ada di TKP tersebut dicurigai sebagai pelaku, sebagai penyidik wajar untuk melakukan tugas dalam hal menurunkan angka kriminalitas di Indonesia khususnya di bidang narkotika, yang terpenting 'pembuktian' dengan benar-benar detail mendalami perkara harus dilakukan, demi tegaknya keadilan, jika terbukti bersalah harus dilakukan kegiatan selanjutnya, jika terbukti tidak bersalah maka harus segera dibebaskan, karena akan menimbulkan suatu 'stigmatisasi' dan akan merugikan korban salah penangkapan tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline