SEJARAH PT DJARUM
Pada tahun 1951 tanggal yang sama dengan hari ini, adalah Oei Wie Gwan, pengusaha berdarah Tionghoa, mengakuisisi perusahaan rokok NV Murup yang tengah terancam bangkrut di Kudus Jawa Tengah. Dengan memiliki brand "Djarum Gramofon" pak Oei mencoba menghidupkan kembali perusahaan dengan memakai nama baru: Djarum.
Musibah kebakaran besar2an yang tiba2 melanda pabrik di tahun 1963 mengakibatkan perusahaan Djarum hancur. Anaknya, Robert Budi Hartono dan Michael Bambang Hartono yang ditinggal ayah mereka, Oei yang kemudian meninggal dunia, bersatu dengan semangat membangun perusahaan bangkit dari keterpurukan.
Perlahan tapi pasti Djarum menuai hasil dari kerja keras 2 bersaudara tersebut. Produk Djarum saat itu ialah rokok lintingan tangan (SKT) yang sangat populer dan diproduksi dalam jumlah besar. Rokok kretek lintingan tangan klasik dihasilkan oleh Djarum melalui metode kuno yang dikerjakan manual oleh buruh yang sangat terampil.
Tibalah di tahun 1970. Djarum mulai mengikuti kemajuan teknologi dengan membeli mesin untuk memproduksi rokok yang dikemudian hari dikenal dengan Sigaret Kretek Mesin. Namun pembaca jangan buru2 menduga karyawan SKT dirumahkan. Justru Djarum melestarikan Kudus Kota Kretek yang per april 2019 memperkerjakan 75.000 karyawan di 28 Pabrik yang terintegrasi dalam sentra produksi SKT PT Djarum Kudus.
Tahun 1972 dimulailah Internasionalisasi produk Djarum. PT Djarum mulai mengembangkan produk melalui research yang unggul juga bahan baku berkelas tinggi. Dengan percaya diri PT Djarum mulai mengekspor Sigaret Kretek Tangan dan Mesin ke distributor mitra di seluruh dunia, yaitu ke China, Korea, Jepang, Belanda, Jerman, Amerika. Produk PT Djarum sukses di pasar internasional pada tahun 1981 dengan brand Djarum Super juga Djarum Special dipertengahan tahun 1983.
EKSPANSI USAHA DJARUM GROUP
Krisis moneter 1998 ditandai dengan dimulainya expansi PT Djarum di lini perbankan. BCA yang dikelola Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) akhirnya dibeli PT Djarum setelah lepas kendali dari Salim Group (Liem Sioe Liong). Dewasa ini BCA dengan 51% saham milik Djarum Group adalah bank swasta terbesar di Indonesia, dan sebagai Bank terbesar ke-2 dalam profit (setelah Bank Mandiri) juga terbesar ke-3 dalam aset (setelah BRI dan Bank Mandiri)
Proyek Superblok Grand Indonesia dengan proyek awal mal terbesar Grand Indonesia dan di kemudian hari dilengkapi pula dengan kontrak sewa Hotel Indonesia selama 30 tahun yang dimulai pada 2004, menambah nama besar Djarum Group dibidang properti dan perhotelan.
Bila pembaca belum tahu, ijinkan penulis melengkapi Brand dan Perusahaan / Konsorsium apa saja di lingkaran kerajaan bisnis PT Djarum. Walau belum lengkap, minimal menambah wawasan kita dan siapa tahu anda akrab dengan nama2 sbb:
BCA, Haga Bank, Lygna Furniture, Polytron, WTC Mangga Dua, Grand Mal & Hotel Indonesia, BliBli.com, infokost.com, KasKus, Hartono Plantation Indonesia (perkebunan sawit di Kalimantan), serta ratusan anak perusahaan yang bergerak di bidang rokok, distribusi tembakau, media, sosial media lainnya yang berupa saham atau kepemilikan tunggal dan join venture.