Lihat ke Halaman Asli

Kidung Sinabung dan Airmatanya

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

kalau matahari belum muncul di atas kepala baraku
sembunyilah di balik ilalang yang bersyair; ia takkan
bosan berputar-putar mengiringi partitur angin
yang melayangkan kertas-kertas para Darwis

barangkali lelaguan Cinta mereka mampu meredam
getaran-getaran halusku; sampai kalian memberi izin
dengan hati itu, aku rela menghentikan detak Jantungku
yang selalu berdegup Rindu dengan caraku yang asing itu

demi takdir yang diukir ujung jarum jam dinding rumahmu;
detiknya adalah cangkir semesta yang menampung air-air itu
tiap kamu mengacuhkannya, aku bergetar seperti snooze dalam
kepalamu; sekalipun saat ia memberi waktu padamu untuk sekedar
minum obat nyeri kepala

beginilah airmataku; tak ada Cinta yang mampu menyihirnya
kecuali atas restu hatimu. Hatimu adalah laut dingin yang teramat
maka siramlah aku dengan Airnya itu; Air yang selama ini
menjadi dawam lidah-lidahmu selama berabad-abad

buatlah aku menangis dengan tangisan syahdumu
sihirlah airmataku menjadi airmata hujan yang dingin
hingga mengetuk satu persatu tulangmu; dingin yang
kemudian menjadi lonceng pengingatmu dengan gigilnya
dan gigil itu akan mengingatkanmu pada-Nya.
---

elmoccava, Jakarta, 2014




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline