Lihat ke Halaman Asli

Pada Denting Gelas Kosong

Diperbarui: 7 Mei 2018   16:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Pinterest.com

Tak ada yang istimewa sampai dini hari. Cahaya lampu yang muram bertebaran di antara meja dan kursi, di antara pohon-pohon dan sampah juga. Sementara malam berdenting di gelas kosong, orang-orang sibuk mengembalikan diri dari sebuah negara yang mengambang di udara.

*

Sebentar lagi anak-anak meraih ranselnya, membungkus dunianya seperti sampah, dan membuangnya ke dalam dirinya sendiri. Tapi masih dini hari. Di sini dingin berembus dari listrik dan baling-baling dalam keranjang. Tak ada embun. Tak ada kabut. Tak banyak yang kunikmati selain sebuah lagu yang diputar berulang-ulang, seperti hari-hari kita, seperti sesuatu yang tak ingin kita ungkapkan secara langsung dengan cara yang sama.

*

Aku mengetuk-ngetuk gelas kosong, sepi berjatuhan di sana, dan aromanya seperti kulit yang terbakar. Seekor lelawa terbang di ruang tamu. Ia kehilangan tidur dan kamarnya setelah berusaha mencari buah di kota. Sementara aku, telah lama tidur membenci mataku.

*

Lagu yang kuputar tak ingin berhenti sampai matahari tumbuh di puncak rumahku, tanpa embun dan kabut, sampai rasa sakit yang ditaburkannya terbakar bersama debu-debu di udara.

*

Di gelas kosong itu, kesedihan berdenting dan membeku seperti gula batu. Dan pada akhirnya, aku menikmatinya sebagai teh manis yang hangat di pagi hari.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline