Lihat ke Halaman Asli

Dari Sepatu 1991

Diperbarui: 23 November 2017   19:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: pinimg.com

Sepatu itu awalnya kecil.

sekarang warnanya berubah, kalau bukan hitam pasti abu-abu. perubahan telah melemahkan detak jam dinding dan menyisakan banyak makanan. makanan apa yang cocok bagi lambung seorang lelaki tua, sedangkan darahnya menyusut disesap malam hari. sementara pencarian kita semakin jauh, tapi seperti meraih kabut yang mendekat. 

Di kota ini pikiran kita mengapung ke mana-mana dan saling tumpang tindih seperti tv. kadang sekedar duduk menikmati hujan turun, dinginnya mengisap panas kopi atau bubur ayam. kadang nafas kita tersengal dan akan ada yang masuk rumah sakit, sebuah rumah bagi bayangan-bayangan ganjil, badut pembunuh dan sarang burung sirit.

Tidak ada kursi di taman, tapi aku melihat sebuah lampu pecah; cahayanya memendar seperti teks yang tidak dapat kuterjemahkan. itu bukan ilusi. itu bukan pohon yang sebentar lagi akan tumbang. itu sebuah pilihan, yang menunjukkan rasa manis dan pahit atau keduanya. seekor kucing akhirnya pulang. kita bahagia melihatnya membesarkan anak-anak dengan susu yang terbuat dari gilingan tikus atau sampah. sementara aku mulai kebingungan, kemungkinan apalagi yang akan ditawarkan sepatu saat ia harus menempuh perjalanan sejauh ratusan tahun...

Jakarta, 1951




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline