Mestinya tak kuturuti rayuanmu,
mengikuti ujung terjauh gaunmu. Jika ternyata...
Itu hanya bayangan yang menggiringku melintasi semak belukar,
menebas kegetiran
dan
memerangi kedunguan.
Sementara jiwaku
berada dalam kebutaan
dan yang kutemukan wujudmu terbatasi puluhan dinding-dinding kaca ,serta
harapanku terbentur di batas angan-angan.
Seharusnya memang tak usah
ku jemput panggilanmu,bahkan satu pun bintang tak semestinya kupetik dan kupersembahkan untukmu.
Jika hanya sejuta kemungkinan yang terselip di bibir manismu kemudian menjadi sembilu
yang dengan garang
merobek ulu hatiku.
Aku mendengar lirih ketukan jemarimu pada pintu kalbuku,tanpa kata juga salam dan hanya nuansa bisu kutemukan dalam keabstrakanmu.
Apa kau lihat darah menoreh
di wajahku?
Seperti tumbal aib kegilaan. Kepalaku bertengadah tertindih tambun beban ingatan yang senantiasa menjurus pada gambaranmu di kubah cakrawala.
Namun kini aku tahu,bahwa kau hanya ingin menuang anggur dalam hening cangkir kesendirianku,
membiarkanku hanyut kepayang lalu mengacuhkanku
dalam kesombonganmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H