Aku membuka pintu rumah, lalu menutupnya secepat mungkin. Mataku melirik kanan-kiri, mencari sa---itu dia. Sapu yang tersandar di pojok, dekat rak sepatu. Rambut-rambutnya sudah berubah warna, sedikit kecoklatan dengan ujung yang bercabang dua, tiga atau ratusan malah.
Sapu ini yang selalu menemaniku tiap pagi, setidaknya sudah satu bulan ini. Sejak Ibuku sudah tidak bisa menyapu halaman di pagi hari. Ibuku sedang sakit, asmanya kambuh, dia sedang terbaring di kamarnya sekarang. Maksudku, jangan salah sangka. Alhamdulillah keluargaku adalah keluarga berkecukupan, tidak kaya namun tidak juga miskin. Sehingga untuk penyakit ibu, obat tidak menjadi masalah.
Aku mengenggam erat sapu yang beberapa detik lalu aku ambil. Sekarang pekerjaan ini jadi tugasku. Menyapu halaman, mengepel, menyiram tanaman dan segala tetek bengek urusan lainnya. Tidak masalah juga bagiku, toh hanya pekerjaan ringan.
Kalian mau tahu? Jujur, yang sebenarnya jadi masalah adalah---sebentar. Aku membenarkan maskerku yang talinya kendor. Ini masker ketiga dalam sebulan.
Sudah tahu? Kalau kalian menebak, kalian (mungkin) benar. Masalah sebenarnya ada pada kabut asap yang sedang melanda kotaku sejak sebulan lalu. Kabut asap ini sudah menjadi acara tahunan yang pasti akan datang pada pertengahan tahun. Aku sudah terbiasa dengan kabut asap ini, kecuali ibuku yang mengidap penyakit asma, pasti akan tersiksa selama kabut asap ini datang.
Jangka waktunya? Tergantung, bisa saja hanya beberapa minggu, namun sempat dua bulan lebih kabut asap ini tidak pernah berhenti. Gelar Indonesia sebagai pemilik paru-paru dunia aku rasa sudah siap dicabut dan akan diganti dengan "Negara penyumbang asap dunia".
Bagaimana? Lebih keren menurut kalian?
Aku sudah selesai menyapu halaman. Tanganku juga sudah meraih kain pel. Tapi tiba-tiba gawaiku berdering.
"Ya, kali ini kenapa Ris?"
"Kali ini pasti berhasil! Ayo merapat, semua sudah siap!"
"Kali ini pasti meledak maksudmu?"