Lihat ke Halaman Asli

Ramadan

Penuntut Ilmu

Antara Harapan dan Permainan: Genjatan Senjata di Palestina Peluang Menuju Perdamaian

Diperbarui: 18 Juni 2024   16:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

@ramadankombih/dokpri

Antara Harapan dan Permainan: Genjatan Senjata di Palestina Peluang Menuju Perdamaian

Oleh Ramadan

Pada tahun 1948, setelah pendirian negara Israel, pecah perang antara negara-negara Arab dan Israel, yang dikenal sebagai Perang Arab-Israel 1948, atau Perang Kemerdekaan bagi Israel dan Nakba bagi Palestina. Konflik ini menyebabkan banyak orang Palestina mengungsi atau terusir dari rumah mereka. Selama beberapa dekade berikutnya, konflik antara Israel dan Palestina berlanjut dengan serangkaian perang, insiden kekerasan, dan upaya perdamaian yang terkadang gagal. Upaya-upaya ini meliputi Perjanjian Oslo pada tahun 1993 yang menciptakan Otoritas Palestina, tetapi proses perdamaian yang terjadi setelahnya gagal mencapai kesepakatan final yang adil bagi kedua belah pihak. Genjatan senjata terjadi beberapa kali dalam sejarah konflik, yang paling signifikan adalah genjatan senjata pada tahun 1949, 1967, 1973, dan 2014. Genjatan senjata ini sering kali merupakan langkah awal menuju perundingan damai, meskipun jarang ada kesepakatan jangka panjang yang berhasil dicapai. Dalam konteks ini, harapan untuk perdamaian di antara Israel dan Palestina terus ada, meskipun tingkat kompleksitas, ketegangan, dan klaim historis yang terus mempengaruhi negosiasi dan kesepakatan antara kedua belah pihak. Upaya internasional, termasuk peran mediator dari negara-negara besar dan organisasi internasional seperti PBB, terus berperan dalam mencari solusi yang berkelanjutan bagi konflik ini.

Sejarah Singkat Awal Peperangan

CNBC Indonesia menyebutkan awal mula perang Konflik ini telah terjadi lebih dari 100 tahun, tepatnya sejak 2 November 1917. Pada saat itu, Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur Balfour, menulis surat yang ditujukan kepada Lionel Walter Rothschild, seorang tokoh komunitas Yahudi Inggris. Surat tersebut hanya 67 kata, tetapi isinya memberikan dampak terhadap Palestina yang masih terasa hingga saat ini. Surat tersebut mengikat pemerintah Inggris untuk "mendirikan rumah nasional bagi orang-orang Yahudi di Palestina" dan memfasilitasi "pencapaian tujuan ini". Surat tersebut dikenal dengan Deklarasi Balfour. Intinya, kekuatan Eropa menjanjikan gerakan Zionis sebuah negara di wilayah yang 90 persen penduduknya adalah penduduk asli Arab Palestina. Mandat Inggris dibentuk pada 1923 dan berlangsung hingga 1948. Selama periode tersebut, Inggris memfasilitasi migrasi massal orang Yahudi. Di mana terjadi gelombang kedatangan yang cukup besar pasca gerakan Nazi di Eropa. Dalam gelombang migrasi ini, mereka menemui perlawanan dari warga Palestina. Warga Palestina khawatir dengan perubahan demografi negara mereka dan penyitaan tanah mereka oleh Inggris untuk diserahkan kepada pemukim Yahudi.

Kezholiman Semakin Meningkat

Meningkatnya ketegangan akhirnya menyebabkan Pemberontakan Arab. Ini berlangsung dari tahun 1936 hingga 1939. Pada April 1936, Komite Nasional Arab yang baru dibentuk meminta warga Palestina untuk melancarkan pemogokan umum. Ini menahan pembayaran pajak dan memboikot produk-produk Yahudi untuk memprotes kolonialisme Inggris dan meningkatnya imigrasi Yahudi. Pemogokan selama enam bulan tersebut ditindas secara brutal oleh Inggris, yang melancarkan kampanye penangkapan massal dan melakukan penghancuran rumah. Hal itu menjadi sebuah praktik yang terus diterapkan Israel terhadap warga Palestina hingga saat ini.

Fase kedua pemberontakan dimulai pada akhir 1937. Ini dipimpin oleh gerakan perlawanan petani Palestina, yang menargetkan kekuatan Inggris dan kolonialisme. Pada paruh kedua tahun 1939, Inggris telah mengerahkan 30.000 tentara di Palestina. Desa-desa dibom melalui udara, jam malam diberlakukan, rumah-rumah dihancurkan, dan penahanan administratif serta pembunuhan massal tersebar luas.

Bersamaan dengan itu, Inggris berkolaborasi dengan komunitas pemukim Yahudi dan membentuk kelompok bersenjata dan "pasukan kontra pemberontakan" yang terdiri dari para pejuang Yahudi bernama Pasukan Malam Khusus yang dipimpin Inggris. Di dalam Yishuv, komunitas pemukim pra-negara, senjata diimpor secara diam-diam dan pabrik senjata didirikan untuk memperluas Haganah, paramiliter Yahudi yang kemudian menjadi inti tentara Israel. Dalam tiga tahun pemberontakan tersebut, 5.000 warga Palestina terbunuh. Sebanyak 15.000 hingga 20.000 orang terluka dan 5.600 orang dipenjarakan.

Perang Singkat 6 Hari

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline