Lihat ke Halaman Asli

Rama AndikaRP

Universitas Airlangga

Bagaimana Penerapan Pembangunan Rendah Karbon di Indonesia?

Diperbarui: 5 Juni 2022   19:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat ini, permasalahan mengenai pemanasan global semakin mengkhawatirkan. Hal ini karena dari tahun ke tahun emisi karbon dunia terus meningkat yang mana ini merupakan faktor penyebab pemanasan global. Dampak dari pemanasan global pun telah dirasakan oleh seluruh masyarakat dunia seperti suhu bumi yang semakin panas, cuaca ekstrem, kekeringan berkepanjangan, bencana alam, kenaikan muka air laut, dan lain sebagainya. Jika peningkatan emisi karbon terus berlanjut, maka pemanasan global dapat mengancam kehidupan manusia di masa yang akan datang. Oleh karena itu, pembangunan rendah karbon menjadi hal yang penting sebagai salah satu solusi dalam mengatasi pemanasan global.

Pembangunan rendah karbon merupakan pembangunan yang tidak hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi saja, tetapi juga memperhatikan kelestarian lingkungan, efisiensi sumber daya, dan keadilan sosial (LCDI, 2019). Pembangunan rendah karbon bukan mengutamakan pertumbuhan ekonomi saja, tetapi pertumbuhan ekonomi dan lingkungan harus mampu berjalan beriringan. Pembangunan di Indonesia sendiri masih cenderung kurang memerhatikan aspek lingkungan. Pertumbuhan ekonomi dianggap lebih penting daripada kelestarian lingkungan. Exploitasi sumber daya alam yang berlebihan, pelaksanaan investasi dengan emisi karbon yang tinggi, sistem energi dan transportasi yang tidak efisien menimbulkan tingginya emisi karbon di Indonesia. Meskipun Indonesia sebagai negara berkembang yang mana harus terus meningkatkan pertumbuhan ekonominya, tetapi Indonesia sangat membutuhkan pembangunan rendah karbon. Selain memerhatikan aspek lingkungan, pembangunan rendah karbon juga tidak mengabaikan keadilan sosial. Pembangunan rendah karbon memandang bahwa pembangunan yang beraspek lingkungan juga berdampak pada keadilan sosial masyarakat. Keadilan sosial dalam pembangunan rendah karbon artinya peningkatan dalam penyerapan dan pemberian upah bagi tenaga kerja, ketersediaan kebutuhan yang lebih tinggi, dan kualitas lingkungan serta kondisi kehidupan yang lebih baik.

Dalam upaya melaksanakan pembangunan rendah karbon, Indonesia menerapkan strategi Net Zero Emission 2060. Net Zero Emission 2060 merupakan target nasional untuk mecapai netralitas karbon pada tahun 2060 atau sebelumnya. Sederhananya, net zero berarti memotong emisi gas rumah kaca sedekat mungkin dengan nol yang mana emisi yang tersisa di atmosfer masih dapat diserap kembali oleh alam (UN, tanpa tahun). Net zero emission pertama kali dicetuskan pada Paris Agreement yang disepakati oleh 196 negara untuk membatasi peningkatan suhu bumi, yaitu tidak lebih dari 1,5 derajat celcius. Paris Agreement secara tersirat juga memfokuskan hutan sebagai instrumen penting dalam penyerapan emisi karbon. Kemudian, Pemerintah Indonesia merespons perjanjian tersebut dengan telah menerbitkan Undang-Undang No 16 tahun 2016 tentang ratifikasi Paris Agreement sebagai komitmen menuju arah pembangunan rendah karbon dan ketahanan iklim (Ditjen PPI, 2017). Dalam mencapai target nol emisi, pemerintah tengah menerapkan lima prinsip utama, yaitu peningkatan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT), pengurangan energi fosil, kendaraan listrik di sektor transportasi, peningkatan pemanfaatan listrik pada rumah tangga dan industri, dan pemanfaatan Carbon Capture and Storage (CCS) (ESDM, 2021).

Penerapan pembangunan rendah karbon di Indonesia juga mengalami berbagai tantangan. Pertama, Indonesia masih ketergantungan dengan energi fosil. Konsumsi energi di Indonesia masih didominasi oleh minyak bumi, gas, dan batu bara. Bahkan, 61% persen sumber listrik di Indonesia masih dari pembangkit batu bara (IDX Channels, 2021). Hal ini sangat memprihatinkan karena energi baru terbarukan belum bisa diandalkan sebagai pemasok energi listrik di Indonesia. Tingginya jumlah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang mana bahan bakarnya berasal dari batu bara menimbulkan tingginya emisi karbon di Indonesia. Selain itu, sektor transportasi di Indonesia sangat didominasi oleh bahan bakar fosil. Penggunaan transportasi berbahan energi baru terbarukan masih sangat kurang. Padahal, sektor transportasi juga menyumbangkan emisi karbon yang cukup tinggi. Jadi, transisi energi fosil ke energi baru terbarukan menjadi tantangan dalam menerapkan pembangunan rendah karbon di Indonesia.  Kedua, tingkat deforestasi yang masih tinggi. Pada periode 2019-2020 angka deforestasi di Indonesia sebesar 115,46 ribu ha, sedangkan pada periode 2018-2019 mencapai 462,46 ribu ha (Menlhk, 2021). Meskipun ada penurunan, tetapi angka deforestasi di Indonesia masih tergolong tinggi. Padahal hutan memiliki peran penting dalam menyerap emisi karbon di atmosfer. Hal inilah yang menjadi tantangan dalam penerapan pembangunan rendah karbon. Ketiga, kurangnya kesadaran masyarakat dalam melestarikan lingkungan. Masyarakat Indonesia masih memiliki kesadaran yang kurang tentang kelestarian lingkungan. Bahkan, masih banyak ditemukan masyarakat yang membuang sampah di sungai. Tidak hanya pemerintah saja yang memiliki kewajiban dalam mewujudkan pembangunan rendah karbon, tetapi masyarakat juga memiliki peran penting. Kepedulian masyarakat sangat dibutuhkan dalam penerapan pembangunan rendah karbon di Indonesia.

Berdasarkan uraian di atas, pemanasan global merupakan permasalahan yang memerlukan perhatian khusus. Emisi karbon yang semakin meningkat dari tahun ke tahun menimbulkan dampak dari pemanasan global semakin terasa. Salah satu solusinya ialah pembangunan rendah karbon yang mana tidak hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi saja, tetapi juga memperhatikan kelestarian lingkungan, efisiensi sumber daya, dan keadilan sosial. Indonesia merupakan negara penghasil emisi karbon yang cukup tinggi serta negara yang terdampak pemanasan global sehingga sangat memerlukan penerapan pembangunan rendah karbon. Indonesia menerapkan strategi Net Zero Emission 2060 dalam upaya menerapkan pembangunan rendah karbon. Namun, pembangunan rendah karbon di Indonesia juga mengalami berbagai tantangan, yaitu ketergantungan dengan energi fosil, angka deforestasi yang masih tinggi, dan rendahnya kepedulian masyarakat terkait kelestarian lingkugan.

Referensi:

Ditjen PPI. (2017). Komitmen Indonesia Dalam Pengendalian Perubahan Iklim. Diakses pada 2 Juni 2022, dalam Ditjen PPI: http://ditjenppi.menlhk.go.id/kcpi/index.php/tentang/amanat-perubahan-iklim/komitmen-indonesia#:~:text=Komitmen%20dan%20Kontribusi%20Indonesia%20kembali,kaca%20dan%20bergera%20aktif%20mencegah

ESDM. (2021, Oktober 8). Ini Prinsip dan Peta Jalan Pemerintah Capai Net Zero Emission. Diakses pada 2 Juni 2022, dalam Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia: https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/ini-prinsip-dan-peta-jalan-pemerintah-capai-net-zero-emission

IDX Channel. (2021, Agustus 2). 61 Persen Sumber Listrik RI Berasal dari Pembangkit Batu Bara. Diakses pada 2 Juni 2022, dalam IDX CHANNEL.COM: https://www.idxchannel.com/economics/61-persen-sumber-listrik-ri-berasal-dari-pembangkit-batu-bara

LCDI. (2019, Maret). Low Carbon Development A Paradigm Shift Towards A Green Economy in Indonesia. Diakses pada 2 Juni 2022, dalam LCDI Indonesia: https://lcdi-indonesia.id/wp-content/uploads/2022/03/Low-Carbon-Development-A-Paradigm-Shift-Towards-a-Green-Economy-in-Indonesia-Full-Report-2019.pdf

Menlhk. (2021, Maret 4). Laju Deforestasi Indonesia Turun 75,03 %. Diakses pada 2 Juni 2022, dalam Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia: https://www.menlhk.go.id/site/single_post/3645/laju-deforestasi-indonesia-turun-75-03

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline