Lihat ke Halaman Asli

Kepastian Hukum versus Rasa Keadilan: Pasal 158 UU No.8 2015 tentang Pilkada

Diperbarui: 7 Januari 2016   17:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 

 

Pasca Penetapan Pemenang Pemilukada KPUD di berbagai daerah, ratusan gugatan sengketa pilkada diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Para pasangan Calon yang tidak terima kalah melakukan upaya legal terakhir meminta keadilan ke Mahkamah Konstitusi.

Namun dipastikan banyak diantara gugatan tersebut akan dinyatakan tidak dapat diterima, artinya perkara tidak akan dilanjutkan ke tahap pemeriksaan dan pembuktian dalil-dalil gugatan. Di dalam Pasal 158 Ayat (1) dijelaskan bahwa provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan dua juta jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2 persen dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi.

Sementara provinsi dengan jumlah penduduk 2 juta hingga 6 juta, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1,5 persen dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi. Undang-undang tersebut kemudian dikuatkan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 4 tahun 2015 yang menjadi acuan tata beracara di Mahkamah Konstitutusi.

Menjelang Sidang perkara pilkada di MK muncul suara-suara yang menyatakan bahwa Pasal 158 UU Pilkada berpotensi memberangus semangat demokrasi dan bahkan mencederai proses jujur dan adil pemilukada itu sendiri. Argumentasi yang digunakan adalah pasal tersebut tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat atau lebih khusus pasang calon yang perolehan suranya dinyatakan kalah, namun tetap yakin ada yang salah dan atau kecurangan dalam pilkada, baik yang dilakukan oleh pasangan calon lawan maupun kesalahaan yang dilakukan oleh KPU. Bahwa pasal 158 telah merampas hak paslon yang kalah dalam perjuangan legal terakhir untuk membuktikan adanya kecurangan dan atau kesalahan di hadapan Mahkamah. Artinya paslon pemohon tidak mempunyai kesempatan untuk membuktikan dalil gugatannya karena sudah berhenti sebelum proses persidangan yang sebenarnya dimulai, gugatan dinyatakan tidak dapat diterima. Padahal pertarungan ada pada proses pembuktian dalil-dalil lewat saksi-saksi dan alat bukti lainnya.

UU No. 8 Tahun 2015 tetang Pemilukada telah ditetapkan dan berlaku sebelum pilkada serentak 9 Desember 2015 lalu. Bicara tentang rasa ketidakadilan sebagai akibat dari diterapkan suatu aturan hukum, tentu akan melahirkan relativisme berfikir, karena “rasa” akan sangat subyektif dan tegantung pada nuansa peristiwa pada saat itu. Adil menurut A belum tentu adil menurut B,  apalagi   peristiwa tersebut menimbulkan dampak psikologis atau cenderung emosional.

Idealnya, menurut Prof. Satjipto Rahardjo Baik Kepastian Hukum dan Keadilan Hukum ada dalam kondisi yang proporsional. Sering kita dengar dan bahkan diantara kita meyakini bahwa, seringkali kepastian hukum berbanding terbalik dengan rasa keadilan. Sangat sulit memang memenuhi rasa keadilan semua pihak, setiap sengketa lahir dari adanya kepentingan-kepentingan yang berbeda. Perlu diingat bahwa hukum hadir untuk memberikan keteraturan, keamanan dan kenyamanan dalam masyarakat, sehingga sengketa yang timbul tidak justru merusak tatanan yang sudah dibangun dalam masyarakat hukum harus ditegakan.

Rancangan menjadi Peraturan Hukum

Sebelum hukum diundangkan tentunya rancangan peraturan akan dibahas, diuji oleh berbagai Ahli dan Instutusi Negara yang kompeten. Dalam pembahasan rancangan peraturan akan diuji dari berbagai aspek, mulai dari aspek yuridis, sosiologis, historis dan filosifis. Dengan tujuan pada saat diundangkan peraturan tersebut dapat memenuhi rasa keadilan yang proporsional dan berlaku umum dan meberikan kemaslahatan. Artinya aspek keadilan telah selesai pembahasannya sebelum peraturan diundangkan atau diberlakukan.

Produk hukum adalah buatan manusia yang tentunya bisa saja terdapat kesalahan didalammnya. Produk hukum juga dapat tertinggal oleh zaman, tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan masyarakat karena waktu hukum dibuat dengan kondisi terkini baik kondisi sosial, ilmu pengetahuan dan teknologi telah berubah. Sistem demokrasi Indonesia telah menyiapkan istrumen perubahan aturan. Mulai dari merubah atau mengganti pembuat undang-undang melalui mekanisme pemilu dan juga upaya judicial review jika dianggap peraturan hukum dirasa tidak adil atau bertentangan dengan nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline