Pengadilan Tipikor telah memutuskan bersalah terhadap Para Hakim Pengadilan Tata Usaha Medan, Tripeni Irianto, Amir Fauzi dan Dermawan ginting, penerima uang suap dari Gubernur Gatot Pudjo Nugroho dan Istri Keduanya melalui Advokat OC. Kaligis dan M. Yagari Bastara. Aliran dana kepada para “yang mulia” tersebut diperuntukan untuk mempengaruhi putusan Majelis Hakim PTUN Medan terhadap perkara gugatan kepada Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara yang menguji kewenangan Kejaksaan Tinggi Sumut dalam hal penyelidikan dan penyidikan terhadap dugaan korupsi dana bansos bantuan daerah bawahan (BDH), bantuan operasional sekolah (BOS), penahanan pencairan dana bagi hasil (DBH) dan penyertaan pada sejumlah BUMD pada pemerintah Propinsi Sumut.
PTUN mengabulkan gugatan Pemprop Sumut, Kejaksaan Tinggi Sumut dinyatakan sewenang-wenang dalam penetapan Kabiro Keuangan Pemprop Sumut, sehigga penyidikan tidak sah dan harus dihentikan. Kejaksaan pun banding. Menarik untuk dicermati adalah “keberanian” para hakim tersebut untuk membuat putusan absurd jika kita melihat secara komprehensif aturan perundang-undangan yang mengatur tentang proses penyelidikan serta penyidikan dan peraturan dalam ruang lingkup Peradilan Tata Usaha Negara.
Wewenang PTUN
Peradilan Tata Usaha Negara adalah Peradilan yang mempunyai tugas dan wewenang:
Memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara, yaitu suatu sengketa yang timbul dana bidang hukum TUN antara orang atau badan hukum perdata (anggota masyarakat) dengan Badan atau Pejabat TUN (Pemerintah) baik pusat maupun didaerah sebagai akibat dikeluarkannya suatu keputusan TUN (beschikking), termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. (Vide Pasal 50 Jo Pasal 1 angka 4 UU No.5 Tahun 1986 Jo. UU. No. 9 Tahun 2004)
Berdasarkan uraian tersebut seacara sederhan dapat dipahami bahwa yang menjadi subyek dalam PTUN adalah Penggugatnya adalah perorangan atau badan hokum perdata. Sedangkan yag menjadi Tergugat adalah Badan atau Pejabat Pemeritah. Dan yang menjadi obyek gugatan adalah Keputusan yang Pejabat Negara, juga perbuatan Pejabat Negara yang tidak mengelurkan keputusan yang menjadi kewajiban pejabat Negara. (Vide Pasal 3 UU No.5 Tahun 1986 tetang Peradilan Tata Usaha Negara).
Secara umum dan dalam berbagai perkara TUN tugas dan wewenang PTUN adalah mengadili Surat Keputusan (SK) yang dikeluarkan Pejabar Negara. Dalam Perkara yang melibatkan banyak pesohor ini materi gugatanya adalah keputusan Kejaksaan Tinggi Sumut yang melakukan proses penyelidikan dugaan korupsi dana bansos. Artinya gugatan yang diajukan atas inisitif Gubernur Gatot pada saat gugatan diajukan adalah gugatan terhadap proses hukum yang secara khusus masuk adalah ranah Hukum Pidana yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Hukum Acara Hukum Pidana.
Tindakan Penyelidikan dan Penyidikan Bukan Obyek PTUN
Berdasarkan Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yng bukan merupaka Keputusan TUN adalah:
- Keputusan TUN yang merupakan perbuatan hukum perdata.
- Keputusan TUN yang merupakan keputsan yang bersifat umum.
- Keputusan TUN yang masih memerlukan persetujuan.
- Keputusan TUN yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau peraturan lainya yang bersifat pidana.
- Keputusan TUN yang dikluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perudang-undangan yang berlaku.
- Keputusan TUN mengenai tata usahaAngkatan Bersenjata Republik Indonesia.
- Keputusan Panitia Pemilihan, baik dipusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum.
Secara jelas dalam huruf d pasal di atas menyatakan bahwa keputusan yang dikeluarkan oleh aparat penegak hukum baik Polisi, Jaksa dan KPK yang berkaitan dengan proses hukum harusnya tidak dapat diperiksan dan diadili di Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pertanyaan yang muncul pada saat putusan perkara dibacakan kenapa majelis hakim sampai berani berakrobat telah terjawab dengan fakta-fata persidangan bahwa putusan dibuat atas “arahan” OC. Kaligis. Dalam persidangan Tripeni yang menjadi ketua majelis pada saat itu menyatakan awalnya gugatan dinyatakan Niet Otvakelijke Verklaard (NO) atau gugatan tidak dapat diterima karena tidak terpenuhinya syarat formil gugatan. Tapi “yang mulia” tidak tahan godaan dollar, akhirnya putusan berubah.