Pada hari Minggu, tepatnya tanggal 4 Agustus 2024, pukul 3 sore, selesai dari program kerja pembersihan kantor geuchik, kami peserta Kuliah Kerja Nyata (KKN) Melayu Serumpun 5 mendapat kabar duka yang disampaikan oleh ibu sekretaris Desa Bunin. Ibu sekdes menyampaikan bahwasanya orang tua dari bapak geuchik Bunin yaitu ibundanya meninggal dunia. Salah seorang warga Desa Bunin pun mengumumkan di meunasah agar masyarakat bisa mengetahui.
Setelah menerima kenyataan tersebut, kami yang terdiri dari beberapa orang perwakilan kelompok 5 Kuliah Kerja Nyata Melayu Serumpun bergegas ikut melayat ke rumah almarhumah yang jaraknya 20 km dari posko. Keberangkatan kami tidak sendiri melainkan bersama-sama warga yang ikut merasakan duka dari orang berpengaruh di desa. Segala kesedihan dan keharuan sangat terasa antar sesama warga yang menunjukkan rasa empati tinggi di masyarakat. Setelah sampai di sana, kami melihat rumah duka sudah penuh oleh pelayat. Suasana menjadi pecah ketika jenazah almarhumah sampai dari rumah sakit di Aceh Timur.
Pada saat sesi pemakaman, keluarga dan semua warga bergotong royong membantu semua persiapan. Kami dan beberapa warga Bunin langsung ikut membantu di rumah duka. Kami juga ikut memakamkan yang bertepatan dengan selesai shalat maghrib. Setelah mengikuti acara pemakaman, kami juga mengikuti acara takziah dan kenduri pada malam ke-1 sampai 7 yang ternyata juga memiliki kemiripan dengan tradisi yang ada di kampung saya yaitu Padang Pariaman. Atas dasar inilah saya ingin membahas lebih dalam terkait dua tradisi antara Bunin dan Padang Pariaman.
Tradisi dalam menghadapi kematian sering kali mencerminkan identitas dan nilai-nilai budaya yang mendalam di setiap daerah. Seperti salah satu desa di Kecamatan Serba Jadi, Kabupaten Aceh Timur, yaitu Desa Bunin yang mana kenduri kematian menjadi momen sakral yang dihiasi dengan berbagai ritual dan adat yang telah diwariskan turun-temurun.
Secara sekilas, tradisi ini tampak mirip dengan "Mangaji Kamatian" di Padang Pariaman yang sama-sama berfokus pada doa dan penguatan spiritual bagi almarhum. Uniknya lagi, kedua tradisi kematian dari dua daerah yang berbeda ini memiliki waktu pelaksanaan bertingkat-tingkat yang nyaris sama. Pada Desa Bunin, kenduri dilakukan pada hari ke-3, 5, 7, 10, 44 dan 100. Sedangkan di Padang Pariaman, tradisi mangaji dilaksanakan pada hari ke-3, 7, 14, 40/44 dan 100. Dari segi ritual, tentunya keduanya memiliki perbedaan yang khas.
Adat kenduri kematian di Desa Bunin dipimpin oleh seorang imam, sedangkan di Padang Pariaman dipimpin sebanyak 4-8 orang yang dinamakan "Urang Siyak". Tradisi kenduri dan mangaji berupa doa-doa, tahlilan dan yasinan. Selain itu, keduanya sama-sama dilakukan pada malam hari di mana siang hari adalah waktu untuk memasak makanan jamuan. Isi jamuan kenduri berupa kue apam, lepat, nasi bebunge, gutel, labu dan kunyit, yang disuguhi dengan ritual pembakaran kemenyan, sedangkan adat mangaji hanya berupa jamuan makanan yang juga dilakukan pembakaran kemenyan sebelum memulai doa.
Terkait bingkisan, masyarakat Desa Bunin sangat menghormati imam dan juga menjaga harga diri mereka. Imam yang telah memimpin kenduri diberi anyaman tikar pandan, wajan, lampu sampai pada nasi dan peralatan makanan dan bahkan baju. Menurut Ibu Armila, salah seorang warga Desa Bunin, "bingkisan yang wajib adalah tikar. Jika tidak, keluarga almarhum akan menanggung malu". Adapun di Padang Pariaman, urang siyak hanya diberi makan, uang dan bingkisan lemang ketika pulang.
Tradisi kenduri di Desa Bunin pertama-tama dilakukan 7 hari berturut-turut di mana keluarga besar almarhum menetap tinggal di rumah. Pada malam ke-1, 3, 5, dan 7 adalah ritual kenduri-takziah, sedangkan malam ke-2, 4, 6 hanya takziah. Pada malam pertama dinamakan dengan turun met. Pada malam ini, rumah duka sudah dikunjungi oleh imam dan masyarakat. Mereka diberi makan dan kue ringan. Sementara itu, tamu tersebut akan memberi sedekah berupa beras, uang, atau bahan sembako lainnya. Menilik di Padang Pariaman, pada hari pertama, masyarakat datang hanya membaca surat yasin serta membawa seperangkat alat kematian, seperti kain kafan, kapas, bunga dan lainnya.
Pada malam ketiga disebut dengan nige. Ritual kenduri sama dengan pelaksanaan di malam pertama. Hingga malam kelima dan ketujuh yang disebut dengan nujuh. Terkadang, kenduri juga dilakukan pada malam ke-10. Tetapi jarang dilakukan. Adapun malam ketiga di Padang Pariaman, disebut dengan manigo ari dan malam ke-7 disebut dengan manujuah ari. Di dua malam ini, hanya keluarga yang ditinggalkan yang melaksanakan mangaji (doa/takziah) kecil-kecilan dengan memasak dan membuat lemang untuk jamuan. Mereka memanggil pemimpin doa (urang siyak) yang berjumlah 4 orang. Ketika pulang, pemimpin doa tersebut diberi bingkisan lemang.