Lihat ke Halaman Asli

Tanggapan Surat Terbuka Tasniem Rais Terhadap Joko Widodo

Diperbarui: 18 Juni 2015   08:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Berikut adalah tanggapan terhadap surat terbuka sepihak yang dilontarkan putri Amien Rais terhadap Joko Widodo. Surat terbuka Tasniem Rais bisa ditemukan melalui link ini. (http://nasional.kompas.com/read/2014/06/27/1141265/Dukung.Prabowo.Putri.Amien.Rais.Buat.Surat.Terbuka.untuk.Jokowi)

Dear Tasniem,

Ini adalah surat dari salah satu rakyat biasa di Indonesia untuk menanggapi surat sepihak yang anda tulis. Semoga ketika anda, Pak Amien Rais dan Pak Prabowo membaca surat ini, anda bisa mengintrospeksi diri sendiri.

Pertama, saya akan kutipkan di bawah ini isi dari Sumpah Gubernur DKI Jakarta.
“Demi Allah saya bersumpah akan memenuhi kewajiban saya sebagai Gubernur DKI Jakarta dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Memegang teguh UUD Negara RI 1945 dan menjalankan segala UU dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti pada masyarakat, nusa dan bangsa,”
Semua saudara-saudara sebangsa bisa membaca dengan jelas di atas bahwa tidak ada rujukan terhadap masa jabatan ataupun tenggang waktu tertentu. Ketika anda menggunakan kalimat “hingga Jakarta beres”, itu adalah definisi anda sendiri. Selain itu, anda tidak jelas memberikan ukuran yang sesuai untuk status “beres”.

Kedua, ketika anda meminta Pak Joko Widodo merenungkan akan kemampuan dia untuk mengemban amanat dari 250 juta rakyat Indonesia, apakah anda tidak berpikir untuk menanyakan hal yang sama terhadap Pak Prabowo Subianto? Semua saudara-saudara sebangsa sangat mengetahui bahwa kedua calon presiden dalam Pemilu mendatang belum pernah menjabat sebagai Presiden sebelumnya. Pak Joko Widodo pernah menjabat sebagai Walikota kota Solo yang berpenduduk 500 ribu jiwa. Menjelang akhir masa jabatannya, Pak Joko Widodo dikukuhkan sebagai walikota terbaik ketiga di dunia. Setelah itu Pak Joko Widodo memimpin DKI Jakarta yang berpenduduk sekitar 10 juta jiwa atau lebih. Sekalipun masa jabatan Pak Widodo itu singkat, perubahan sudah dirasakan di berbagai aspek. Ruang-ruang hijau dan taman-taman sudah bertambah. Proyek Monorel sudah dimulai. Waduk-waduk dan kanal-kanal yang penuh sampah dikeruk dan dibenahi. Sistem pengurusan KTP dan lain-lain sudah dibuat jauh lebih baik. Warga ibukota bahkan sudah bisa merasakan manfaat dari Kartu Jakarta Pintar dan Kartu Jakarta Sehat. Alangkah sangat indah kalau semua fasilitas dan peningkatan ini dirasakan oleh 240 juta rakyat Indonesia yang lain yang tinggal di luar Jakarta dan Solo.

Ketiga, saya menghimbau anda untuk bersikap adil. Ketika Pak Prabowo disinggung mengenai hal-hal penculikan aktivis, beliau menyatakan bahwa beliau disuruh oleh mendiang Pak Harto. Pak Prabowo bahkan sangat menyanjung tinggi Pak Harto sehingga dia berniat menjadikan Pak Harto sebagai Pahlawan Nasional. Saya perlu mengingatkan disini bahwa Pak Harto adalah lawan Pak Amien Rais ketika pergolakan reformasi terjadi di tahun 1998. Sebenarnya, masyarakat tidak peduli terhadap pernyataan bahwa Pak Joko Widodo mengikuti perintah Ibu Megawati. Seperti yang saya sebutkan di atas, prestasi-prestasi Pak Joko Widodo ketika memimpin Solo dan Jakarta sangat jelas menguntungkan warga Solo dan Jakarta sendiri. Warga Indonesia hanya peduli terhadap perubahan dan peningkatan positif yang akan dilakukan olek Pak Joko Widodo apabila beliau terpilih sebagai Presiden RI.

Keempat, kebijakan ekonomi Pak Prabowo dinilai sangat riskan. Prabowo berniat meningkatkan “debt ceiling” Indonesia dari 24% sementara “default rate” Indonesia jauh lebih tinggi dari negara tetangga. Apabila ini terjadi, para “debtors” dan “investors” akan bertindak yang akan merugikan ekonomi Indonesia. Sebelum anda buru-buru mengamini rencana Pak Prabowo untuk merebut balik kekayaan alam negara Indonesia, seharusnya anda bertanya dulu “Apakah negara ini sudah mempunyai fasilitas memadai untuk mengelola negara?”. Pengelolaan Freeport diberikan kepada asing karena kita sendiri belum bisa menjangkau dan menbangun dearah terpencil di Papua. Seandainya kita punya kapabiltas, apa yang menjamin kalau pelaksanaanya tidak dicemari oleh korupsi? Saya bertanya hal yang serupa terhadap Pak Prabowo “Dari mana Pak Prabowo mendapat uang sebanyak itu untuk melaksanakan janji-janjinya?” Pernyataan Pak Prabowo akan kebocoran Rp 1000 triliun dikritik habis oleh berbagai kalangan. Angka itu dinilai berlebihan mengingat bahwa pasangan cawapres Pak Prabowo adalah menteri di bidang ekonomi. Dari mana uang untuk melaksanakan solusi Pak Prabowo menambah anggaran KPK dan gaji pejabat supaya korupsi bisa dikurangi, seperti yang dijanjikan beliau sendiri?

Kelima, ketika kalimat “Founding Father” itu dikumandangkan, dunia baru saja “dilukai” oleh Perang Dunia pertama dan kedua. Era itu juga bertepatan dengan puncak perjuangan untuk kemerdekaan di berbagai negara di Asia seperti Indonesia, Malaysia, Filipina, dan lain-lain. Saudara-saudara yang mengetahui sejarah internasional akan memahami kalau sentimen negatif terhadap penjajah sangatlah tinggi pada waktu itu. Anda seharusnya menghindari sikap lugu yang kurang berpengetahuan, dan mulai bersikap realistis. Ketika negara maju seperti Amerika Serikat dan China tidak menyukai kebijakan politik Indonesia yang merugikan kepentingan mereka, belum tentu mereka akan menyatakan itu secara terang-terangan di forum internasional kecuali hal itu secara nyata didukung oleh mayoritas negara-negara lain, sebagai contoh: pelanggaran Hak Asasi Manusia. Apakah anda tidak berpikir kalau pada detik ini juga intelijen AS dan negara-negara asing sedang mengamati pergerakan pejabat-pejabat di Indonesia? Ketika saya menganjurkan anda untuk bersikap realistis, saya berpendapat bahwa tidak semua kerjasama dengan negara asing itu merugikan bangsa kita, contohnya kerjasama pelatihan tenaga kerja dengan Jepang, impor sapi di mana Indonesia belum mempunyai peternakan yang memadai, dan lain-lain. Sikap membabi-buta untuk bersentimen terhadap semua negara-negara asing itu adalah fenomena kuno.

Keenam, pertanyaan yang seharusnya anda jawab adalah “Apakah blusukan itu memberikan hasil?” Di atas saya sudah menyebutkan sekian banyak prestasi Pak Joko Widodo di dalam masa jabatannya yang singkat sebagai Gubernur DKI. Salah satu yang harus saya tambahkan ialah pemanfaatan Rusun Marunda yang dulunya ditelantarkan. Ada dua pendapat tentang “blusukan”, pendapat yang mangagumi dan pendapat yang menganggap itu sebagai “pencitraan”. Satu-satunya ukuran yang bisa menyatukan kedua pendapat itu adalah efek dan hasil nyata dari “blusukan”. Saya berpendapat bahwa alangkah lebih baik jika kita fokus terhadap “hasil” dibandingkan dengan tuduhan “pencitraan”.

Ketujuh, saya punya pertanyaan terhadap Pak Prabowo “Mengapa dia melarikan diri ke Yordania?”. Identitas yang berkaitan dengan militer tidak menjamin kalau orang itu berani berkorban demi negara dan bangsa. Seorang presiden yang sukses tidak harus mempunyai latar belakang militer. Alangkah dangkalnya pemikiran kita kalau kita menganggap kalau hanya orang yang berlatar-belakang militer berani berkorban demi bangsa Indonesia. Pengorbanan itu bukan hanya diukur dengan kematian. Contohnya, orang yang mati sia-sia adalah orang bodoh. Kalau Pak Joko Widodo melaksanakan “blusukan” secara tulus sebagai presiden, itu juga merupakan pengorbanan mengingat ancaman kemanan yang besar yang biasanya ditujukan kepada seorang pemimpin negara. Waktu untuk keluarga yang kian berkurang dan caci maki yang diterima juga merupakan pengorbanan sosok Pak Joko Widodo.

Jawaban-jawaban saya diatas itu adalah cerminan dari opini seorang Rakyat Jelata terhadap Pak Joko Widodo. Dengan ini, saya juga melontarkan pertanyaan yang sama terhadapa Pak Prabowo. Sebenarnya saya bisa melontarkan banyak pertanyaan yang lain yang lebih menyudutkan. Tapi untuk menyingkat waktu dan mengurangi waktu anda mendapatkan jawaban, saya berharap anda bisa menjawab pertanyaan yang sama untuk Pak Prabowo. Pak Prabowo harus bertanya hal yang sama terhadap dirinya “Apakah saya mampu?” dan anda harus bertanya pertanyaan ini terhadap diri anda “Apakah subjektifitas saya sudah membuat saya buta terhadap fakta dan pengetahuan?”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline