Eksil, sebuah film dokumenter yang ditulis oleh Lola Amaria dan Gunawan Rahardja yang entah kenapa daku (saya) paksakan untuk menontonnya. Padahal untuk menonton film ini daku merogoh kocek cukup dalam Rp.75.000, -. di Plaza Senayan (3/3/2024).
Film berdurasi 120 menit ini sebetulnya sudah tayang sejak 1 Februari 2024 di bioskop-bioskop seluruh Indonesia, tapi daku baru berkesempatan pada minggu pertama bulan maret ini.
Daku merasakan aneh, hanya tinggal satu bioskop Cinema XXI di Jakarta yang menayangkan dan bisa bertahan selama hampir 2 minggu sendirian di dalam daftar 21cineplex.com.
Bisa jadi karena segmen penonton Cinema XXI Plaza Senayan yang memiliki minat terhadap film jenis ini, yakni dokumenter. Saat daku menonton film ini, Minggu, 3 Maret 2024, ada 4 baris terisi menandakan bahwa film ini tidak kurang peminatnya.
Terlihat dari penampilan para penonton merupakan warga menengah keatas dan intelektual, tapi daku tidak melihat ada Anak Baru Gede (ABG). Mungkin ABG lebih menyukai film komedi dan horor.
Film ini bercerita tentang kesaksian Warga Negara Indonesia (WNI) yang menjadi stateless akibat peristiwa berdarah G30 S/PKI di tahun 1965.
Sampai saat ini bila kita menyebut 3 huruf ini "PKI" merupakan hal yang tabu. Ketiga huruf itu syarat politik dan peristiwa berdarah dimasa lalu, yang acapkali digunakan saat kampanye untuk menyerang lawan politik.
Buat diri ku pun ketiga huruf itu menyimpan memori kelam keluarga, di mana Mbah Kakung diculik PKI saat ibu ku masih bayi merah. Almarhum tidak tahu rimbanya dan kuburnya di mana setelah diculik.
Tapi, daku pun tetap ingin tetap menonton film ini, karena mengingatkan ku pada film "Surat dari Praha" yang pernah daku tonton. Kepalaku sudah terbuka bahwa banyak orang tak berdosa yang menjadi korban akibat dilabeli "PKI".
Mereka dalam film dokumenter ini adalah para Mantan Mahasiswa Ikatan Dinas (MAHID) yang terdampar lebih dari 30 tahun di beberapa negara Eropa, dan tidak bisa pulang ke Indonesia karena keputusannya menolak menandatangani sumpah setia kepada pemerintahan orde baru "Soeharto" dan pernyataan mengutuk Bung Karno saat itu.