Lihat ke Halaman Asli

Johan Budi, Aku, dan Anak-anakku

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1426247635373398983

[caption id="attachment_355369" align="aligncenter" width="430" caption="Johan Budi dan Aku"][/caption]

Hiruk pikuk akibat pencalonan Budi Gunawan sebagai Kapolri, membuat para petinggi KPK dan POLRI sering muncul di media cetak, televisi, dan dunia maya. Anak pertamaku yang sudah dewasa mau tak mau ikut melihat wajah para petinggi tersebut. Anakku kos di Jakarta, dekat kantornya. Hari libur, kalau tak ada acara dengan teman-temannya biasanya dia pulang.

Ketika dia pulang pada suatu hari, tiba-tiba dia menyeletuk:

“Pak, wajah Johan Budi mirip Bapak, deh!”.

Saya yang sudah sering melihat wajah JB di TV/koran, tidak merasa.

“Ah, masa?” jawabku sekenanya.

Rupanya dia penasaran, dia panggil adik-adiknya untuk meyakinkan. Dia googling, mencari gambar JB dan ditunjukkan ke adik-adiknya. Adik-adiknya setuju!  Sayapun ikut mengecek, dengan melihat foto dan membandingkan dengan foto di SIM yang baru saya perpanjang karena hilang. Hmm... memang ada yang mirip, Cuma saya kelihatan lebih kurus dan tua. Saya lebih tua dari pada JB hampir sepuluh tahun. Mulai saat itu, kadang-kadang anak-anakku meledek bapaknya dengan panggilan “Pak Johan”.

Ada yang lebih menarik perhatian saya dari pada sekedar kemiripan wajah saya dengan JB. Ternyata anak-anakku yang masih kuliah tidak tahu siapa Johan Budi! Padahal saya mendorong anak-anak untuk menjadi aktivis di kampus, supaya mereka tidak kuper.

Ada yang salah! Saya terlalu asyik dengan dunia sendiri, sehingga tidak tahu apa yang sebaiknya diketahui oleh anak-anak. Saya terlalu percaya kepada mereka, sehingga kurang mengarahkan apa yang harus dibaca, hanya memfasilitasi mereka dengan TV, bacaan, laptop, HP dan modem. Pernah saya cek riwayat penelusuran internet yang mereka jelajahi. Tidak ada situs yang berbahaya bagi moral mereka. Saya tidak terlalu menelusuri lebih rinci, yang penting yang mereka baca adalah yang baik-baik.

Sebagai aktivis kampus, anakku cerita bahwa pernah diajak demo oleh teman-temannya. Mereka tidak mau, karena harus meninggalkan kuliah. Sayapun sependapat, boleh unjuk rasa, tetapi jangan sampai meninggalkan kuliah. Tidak kusangka mereka tidak ingin tahu perkembangannya. Maafkan Bapak, Nak! Bapak kurang memberi pengarahan pada kalian.Walaupun kalian mementingkan kuliah, tapi jangan abaikan lingkungan dan negaramu. Ikutilah berita penting, sehingga kalau diperlukan, kalian tahu bagaimana harus bersikap.

Depok, Maret 2015.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline