Lihat ke Halaman Asli

Perjudian Terakhir Jokowi

Diperbarui: 24 Juni 2017   21:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tujuan Akhir Neoliberalisme, yang ditentang UUD 1945 || commons.wikimedia.org

Ada seorang menteri di Indonesia yang pandai mengemas pencitraan untuk memanipulasi kualitas sebenarnya dari dirinya. Bahkan kadang kepandaian itu digunakannya untuk memanipulasi atasannya. Bentuknya adalah penghargaan "sebagai menteri terbaik di kawasan anu", "sebagai presiden terbaik di kawasan itu", dan sebagainya, yang diberikan oleh media atau lembaga dari negara Barat.

Contoh semisal: bagaimana Presiden Jokowi pada 1 Januari 2017 mendadak diberikan penghargaan sebagai  "Pemimpin Pemerintahan Terbaik dari 8 Negara di Asia-Australia 2016" oleh majalah Bloomberg. Penghargaan tersebut diberikan hanya dengan tiga ukuran: pertumbuhan GNP, keterpilihan (public approval), dan kurs.

Pertanyaan pertama untuk menggugat penghargaan Bloomberg tersebut, adalah kenapa hanya delapan (8) negara yang diukur. Padahal dari seluruh negara di Asia, growth Indonesia (5,04%) berada di posisi ke-14. Di antara 8 negara yang dirating Bloomberg tersebut, Filipina dan China growth-nya juga masih lebih tinggi dari Indonesia. Terlebih, beberapa bulan setelah penghargaan, ditemukan fakta growth Indonesia malah turun (-) 0,34% pada kuartal I 2017 alias ekonomi melambat.

Untuk masalah keterpilihan, saat dilangsungkan penilaian oleh Bloomberg, nilai Jokowi (69%) sebenarnya juga masih di bawah Duterte (83%). Dan kini setelah 6 bulan berselang, keterpilihan Jokowi malah sudah anjlok di bawah 40%. Terpuruknya keterpilihan Jokowi selain karena berlarut-larutnya kasus Ahok, juga disebabkan oleh melambatnya perekonomian riil masyarakat.

Sedangkan untuk masalah kestabilan kurs, jelas terdapat perbedaan visi antara Bloomberg dengan negara-negara seperti China dan Filipina. Kita tahu, setelah dicontohkan oleh Jepang di 1970-1980-an yang sukses menciptakan growth tinggi dengan jalan pelemahan kurs, banyak negara berkembang yang mencoba taktik ekonomi tersebut kini dan sukses. Taktik tersebut jelas tidak disukai oleh negara-negara Barat.

Artinya bila hendak berikan penilaian lebih objektif, seharusnya Duterte dari Filipina yang terpilih sebagai yang terbaik dari 8 negara pilihan Bloomberg tersebut. Lalu, kenapa bisa Jokowi yang terpilih? Seolah semua ini memberi pesan, bahwa dengan jalan pemerintahan seperti ini, Jokowi akan terus menjadi yang terbaik di mata media Barat. Sehingga nalarnya: bersama menteri yang ini, Jokowi akan terus menjadi yang terbaik di mata media Barat. Meskipun belum tentu yang terbaik bagi rakyat di negaranya,.

Ini salah satu contoh upaya pencitraan yang dilakukan si menteri untuk atasannya. Untuknya sendiri sudah banyak penghargaan dari media Barat yang diterimanya sebagai menteri keuangan terbaik di Asia. Padahal yang dilakukannya, sehingga diberi penghargaan, adalah pengetatan anggaran dan memasang bunga super tinggi untuk obligasi pemerintah Indonesia. Dua kebijakan yang akan selalu menyenangkan investor pasar uang namun di sisi lain menyengsarakan rakyat.

 Ya, sosok menteri yang mencoba memanipulasi Presiden Jokowi tersebut adalah Sri Mulyani. Dirinya yang sebenarnya adalah ekonom beraliran neoliberal, pencitraan hanya jalannya untuk memenangkan dominasi aliran ekonominya dalam kebijakan pemerintahan Jokowi.

Dalam gembar-gembor reshuffle kabinet yang mendatang, kabarnya Sri Mulyani sedang dipertimbangkan untuk menggantikan Darmin Nasution sebagai Menko Perekonomian. Padahal kita tahu, pada saat ekonomi sedang booming saja Sri Mulyani tidak mampu menghasilkan terobosan apapun, apalagi pada era ekonomi sedang slow down seperti saat ini.

Dengan keberadaan Sri Mulyani di kabinet, dengan posisi yang lebih powerfull seperti Menko Perekonomian, maka rel kebijakan pemerintahan Jokowi akan terus berada di garis neoliberal: pertumbuhan ekonomi konservatif, utang pemerintah terus menggunung, dengan ketimpangan sosial yang semakin buruk.

Di bawah kendali neoliberalisme, kebijakan akan menjauh dari Trisakti dan Nawacita, tidak ada lagi keberpihakan terhadap rakyat. Sehingga dalam sisa kepemimpinannya, Jokowi akan dinilai rakyat Indonesia sebagai pemimpin yang terus menjauhi mereka. Dengan memasang Sri Mulyani sebagai Menko Perekonomian dalam reshuffle kabinet, ini akan menjadi perjudian terakhir sang Presiden.***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline