Lihat ke Halaman Asli

Kartel Pangan dan Janji Presiden Jokowi

Diperbarui: 20 Juni 2017   08:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi KARTEL PANGAN (repro)

Bila suatu pemerintahan berjalan tidak sesuai harapan rakyat, tidak menjalankan janji-janji semasa kampanyenya, maka pada pemilihan kepala negara berikutnya rakyat berhak untuk memilih sosok yang lain. Kecuali bila rakyat senang, tentu lain cerita. Pemerintahan tersebut dapat saja terus dipilih hingga putaran keduanya, diperpanjang lima tahun lagi.

Pada kampanye Pilpres 2014, Jokowi sudah berkampanye untuk memberantas mafia impor pangan. Namun kini sudah hampir tiga tahun, tak satupun menteri ekonomi dan perdagangan Jokowi yang berani mewujudkannya. Sampai 14 paket kebijakan ekonomi, tapi tidak ada satupun kebijakan ekonomi yang memerintahkan pengubahan tata niaga impor pangan. Sampai akhirnya, pada tanggal 6 Juni 2017 lalu, kita semua serasa ditampar.

Ketua KPPU telah mengejutkan publik dengan menyampaikan, bahwa keuntungan dari kartel bawang putih dapat mencapai belasan triliun rupiah. Tata niaga impor bawang putih, menurutnya, sebenarnya hanya dikuasai enam keluarga bisnis. Salah satu taipan bahkan menguasai separuh perputarannya. Betapa segarnya bisnis ini, sehingga setoran untuk pejabat dan aparat pun pasti lancar. Padahal bila tata niaga untuk bawang putih diubah kepada sistem importasi berdasarkan tarif, dampaknya akan sangat signifikan untuk kehidupan rakyat banyak.

Kita tahu bahwa bawang putih adalah bumbu utama dari hampir seluruh masakan rakyat Indonesia. Kebutuhan bawang putih setengah juta ton pertahun, dijual di pasaran domestik dengan harga lebih dari 300% harga di negara lain (Semisal China yang Rp 15 ribu, bandingkan dengan Indonesia Rp 40 ribu). Jadi, seandainya sistem importasi pangan diganti dari kuota ke sistem tarif, maka harga bawang putih dapat jatuh ke Rp 18-20 ribuan.

Terobosan kebijakan semacam ini memperkuat daya beli rakyat Indonesia. Apalagi bila perubahan dilakukan pada produk pangan lainnya yang juga terindikasi kartel, seperti: gula, daging sapi, garam, dll . Dampaknya akan sangat signifikan bagi perekonomian karena dapat menggerakan ekonomi masyarakat kelas bawah.

Apalah artinya keuntungan puluhan triliun rupiah seluruh pemain kartel pangan (yang keuntungannya separuhnya mungkin mengalir ke kantong para pejabat, media, dan politisi), bila dibandingkan dengan senyum puluhan juta para ibu rumah tangga dan para pemilik warung-warung makan kecil yang mendapati harga bumbunya murah? Revolusi Mental diperlukan untuk hal-hal semacam ini. Memberantas mental korup dan rente di kalangan Bangsa kita juga merupakan bagian dari Revolusi Mental. Bukan untuk seremoni dan tulisan spanduk belaka, seperti yang dipahami luas.

Atas keteladanan Jokowi yang berani menghantam kartel impor pangan, rakyat akan melihat suatu harapan. Artinya Presiden yang mereka pilih telah laksanakan janjinya yang tertunda untuk memberantas kartel pangan. Dan pastinya: kesuksesan ini dapat meningkatkan kembali elektabilitas Jokowi di 2019.

Jadi meskipun nanti di 2019 sistem pilpres diubah tanpa ambang batas, sehingga akan muncul 12 capres lain selain Jokowi, tak perlu khawatir. Mayoritas rakyat Indonesia pasti akan kembali memenangkan pemimpin yang menepati janjinya.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline