Campur aduk bahasa dalam kehidupan masyarakat perkotaan sudah lazim terjadi. Hal tersebut tidak terlepas dari latar belakang kultur masyarakat perkotaan yang berasal dari daerah pedesaan. Terlebih, masyarakat Indonesia memiliki suku bangsa dan bahasa yang heterogen.
Terkadang, campur aduk bahasa juga terjadi di lingkugan keluarga. Misalnya saya dan istri, kami berdua berasal dari rumpun Sunda Priangan yang bahasanya dikenal halus dan lembut dalam penyampaiannya. Namun, dalam percakapan sehari-hari secara tidak sadar seringkali kami berdua melakukan campur aduk bahasa, antara Bahasa Sunda halus, Bahasa Sunda kasar, Bahasa Indonesia, dan sesekali dengan istilah dalam bahasa Inggris.
Karena kebiasaan tersebut, tak ayal jika anak-anak kami pun berkomunikasi dengan bahasa yang campur aduk. Meskipun dalam keluarga kami Bahasa Sunda sebagai bahasa ibu, akan tetapi para kesehariannya campur aduk bahasa selalu terjadi.
Padahal, Bahasa Sunda memiliki undak-usuk-basa, yakni tatakrama berbahasa yang memiliki tingkatan penggunaannya, seperti kepada siapa kita berbicara, kepada yang lebih tua, lebih muda, atau sebaya.
Undak-usuk-basa dalam Bahasa Sunda, secara garis besar terdiri dari:
- Basa Loma, merupakan bahasa keseharian yang tidak terlalu kasar tapi juga tidak terlalu halus. Biasanya digunakan oleh rekan seumuran, sahabat dekat, atau kepada orang yang usianya lebih muda.
- Basa Lemes, biasanya diucapkan untuk berbicara dengan orang yang dihormati seperti kepada orang yang lebih tua atau yang sudah sepuh, atau orang dengan jabatan/kedudukan/pengaruh yang lebih tinggi.
- Basa Kasar, biasanya digunakan oleh orang yang sedang marah. Walau sebenarnya basa kasar ini tidak baik diucapkan dihadapan siapa pun. Namun demikian, Basa Kasar bisa menjadi bahasa percakapan sehari-hari di masyarakat kalangan bawah, marjinal.
Nah...!!! Cukuplah ya, opening seriusnya, yang berbahasa sesuai KBBI. Sekarang kita aplikasikan bahasa campur aduk di bawah ini:
AING!!!
Pembaca yang ter-love, belakangan sering banget (secara tidak sengaja, -red) saya menguping percakapan di kalangan anak muda diseputaran Jaksel. Kurang lebih percakapan mereka seperti ini:
- "Eh, tau gak sih, tadi Aing denger si doi diselingkuhin!"
- "Tuh! Kan. Kata Aing juga apa? Si doi teh rungkad.
- "Ah, Aing hari ini Aing mager banget!"
- "Kata Aing teh, Sok aja kamu aduin Aing ke dia, Aing mah gak takut, nyaho!
Padahal, dalam struktur undak-usuk-basa Bahasa Sunda, Aing yang berarti Aku/Saya merupakan bahasa Kasar. Terlebih jika digunakan kepada yang usianya lebih tua dari kita.
Namun ternyata, di kalangan muda-mudi Jaksel, eh, tapi gak cuma Jaksel, sih... Banyak banget yang mengganti "Aku", "Saya", dan "Gw", dengan "AING".