Lihat ke Halaman Asli

Surat Rindu Untuk Presiden

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Membahas dunia tanpa batas dan makna, menciptakan cerita dan hampa. Terbangun pagi dengan suara hiruk pikuk kota metropolitan, di remang-remang angin bertebaran debu terfokus wajahmu, wajah yang selama ini ku rindu. Ku terka debu-debu ini dengan lembut. Berlari terus menerus di antara kerumunan manusia. Kemacetan tak bisa menghalangi imajinasiku yang akan ku pastikan menjadi sebuah kenyataan.
Terus ku kejar bayanganmu, di ributnya klakson, masih ada bayanganmu yang terus ku tunggu. Berlari sekencang-kencangnya sampai dada tak lagi mampu memompa . Putus hati ini, remuk jatung dan seluruh pengharapanku padamu, berharap bayangamu masih terus melukis di atara debu-debu yang ku terka dengan lembut itu?. Namun…., engkau tak lagi di sana, perlahan pahatan debu berlukis wajahmu hilang.

Hujan turun, membasahi lukisan wajahmu yang berkanvas pada debu, wajahmu lebur bersama tetesan hujan. Hanya genggaman lumpur yang bisa ku genggam, tak ada lagi lukisan wajahmu yang ku kejar dengan berlari.
Mana wajah itu, di mana tatapan menggodamu yang membuatku mengejar, mana binar-binar matamu yang memberikan janji, senyumanmu yang menjanjikan padaku kesejahtraan rohani pada setiap kegetiran ini, mana kepakan rambut itu yang memberikan ku harap-harapan baru bahwa akan ada hidup yang lebih mulia.

Aku terus bertanya-tanya sedalam samudra, mengapa kecantikan berbalut anggun pergi begitu saja, setega itukah hujan menghapus pengharapanku, setega itukah hujan yang memakzulkan maknaku mengejarmu. Berharap di setiap tatapan manismu itu bukanlah pencitraan buta, ku harapan setiap tatapan itu ada suapan bahagia yang engkau hantarkan menuju perutku.

Tangisan anak-anak di pelosok bangsa, hanya engkau balas dengan senyuman. Sungguh, aku tak pernah kenyang dengan itu, berharap bukanlah pencitraanmu yang membuatku mengejar debu-debu berbalut wajahmu, berharap bukan senyumanmulah yang membuatku bertahan dengan indah.

Banyak hal yang ingin ku sampaikan padamu, bangsa ini telah merengis kesakitan, terlalu banyak obat merah yang di teteskan kepada kami sehingga luka ini telah membusuk dan bernanah, terlalu banyak balut kain kasa pada setiap tangis luka kami. Aku menunggu engkau dengan tatapan di sela-sela mataku bukan hanya senyum buta ataupun kelicikan yang engkau buat-buat di depan mereka bukan!, aku hanya menunggu sesuap kebahagiaan, tak muluk-muluk tak pula bertingkat-tingkat permintaan kami, hanya dengarlah wahai pemimpin kami. Kami ingin merasa seperti layaknya manusia, kami ingin bahagia seperti tertera dalam bait-bait sang Bhineka, kami ingin tersenyum bersama ketika membaca pembukaan UUD, kami ingin melayang jauh melintasi samudra hidup yang penuh canda tawa lepas bersama Garuda Pancasila

Tak banyak yang kami minta darimu wahai peminpin kami, tak banyak yang kami tuntut darimu, hanya secercah bahagia bersama filsafat bangsa ini, hanya ingin engkau yang menjadi selimut kami ketika badai dingin melanda bangsa ini, hanya ingin agar dirimu mejadi cahaya kami ketika padam sudah harapan kita, hanya ingin engkaulah yang mengusap kemiskinan kami dengan kebijakan bukan kebejatan, hanya ingin agar dirimu hidup sebagai jati dirimu bukan mereka, hanya ingin agar dirimu hidup bersama nafas falsafah kami bukan falsafah mereka, hanya ingin agar hujan itu membersihkan luka kami bukan menghapus janjimu bukan juga menghapus dasar hatimu.

hanya satu pesan kami wahai Bapak Presiden. Hiduplah bersama jati dirimu bukan jati diri mereka
TTD

Merindukan dirimu yang dulu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline