Lihat ke Halaman Asli

Hukuman Mati dan Pencitraan

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa bulanlalu, Presiden Jokowi mengeluarkan pendapat bahwa akan mengeksekusi mati tersangka kasus narkoba. Kedutaan dari berbagai Negara angkat bicara mengenai hal ini meminta agar Jokowi mencabut keputusannya, masih relevankah hukuman mati jika di terpakan di bangsa tercinta ini?

Amandemen kedua UUD 1945 dengan tegas menyebutkan bahwa, “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”[1] Berikutnya UUD menyatakan, “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”[2]

Hukuman mati, awalnya di akui di kanca internasional ketika adanya undang-undang yang di tuliskan oleh Raja Hamurabi di Babilonia pada abad ke-18 sebelum masehi perihal beberapa kasus. Selain itu banyak lagi hukuman mati yang terjadi di berbagai negera dengan berbagai metode seperti, di gantung mati, di sengat listrik, di penggal kepala,dan di tembak mati.

Di indonesia sendiri, hukuman mati telah ada sebelum Zaman orde baru, mengikuti KUHP yang disahkan oleh kolinal belanda, dan rata-rata terpidana mati adalah terpidana politik. Menurut sejarah lebih akurat bahwa hukuman mati pertama di Indonesia terjadi pada tahun 1985 oleh Salman Hafidz yakni terpidana kasus terorisme.

Dalam polemik, banyak negara-negara yang telah memilih untuk mencabut hukuman mati

Amnesty salah satu organisasi yang bergerak di bidang HAM. Di Internasional sepanjang 2014 setidaknya terdapat 140 negara melakukan penghapusan hukuman mati. Dengan perincian, 89 negara secara total menghapus ancaman hukuman mati. Kemudia 7 negara mengapus hukuman mati untuk kejahatan baisa dan 35 negara tidak lagi melakukan praktik hukuman mati. “Sedangkan negara yang masih membolehkan hukuman mati jumlahnya minoritas, tinggal 57 negara”.

·Biru: dihapus untuk semua kejahatan

·Hijau: dihapus untuk kejahatan biasa, tetapi tidak untuk kejahatan luar biasa (penjahat perang)

·Oranye: secara praktis telah dihapus

·Merah: masih diberlakukan (Wikipedia.com)

data di atas menunjukan bahwa prosesi hukuman mati tak lagi relevan dengan kondisi zaman saat ini. 89 negara dari 140 negera lainnya memilih untuk mencabut hukuman mati, karena memandang dampak dari prosesi hukuman mati. Banyak kecatatan hukuman mati yang telah menjadi tantangan dunia saat ini. Jika kita melihat sejarah pada tahun 1973 bahwa pengadilan Amerika Serikat melepaskan 3 terpidana hukuman mati pada saat-saat terakhir eksekusi akan di lakukan, bahwa tuduhan terhadapan mereka terbantahkan setelah di temukannya bukti. Di Amerika pun hukuman mati sering kali menjadi bias dari pada rasis, terjadi keberpihak aparatur terhadap penentuan hukuman mati yakni 80% terpidana hukuman mati adalah ras kuliah hitam.

Hukuman seumur hidup telah cukup untuk membuat efek jera bagi para tersangka, sepatutnya kita mengacu kepada UUD 1945 “bahwa setiap warga Negara berhak hidup”. Di lembaga masyarakatlah para terpidana akan bina sehingga mereka bisa di terima kembali di masyrakat pemerintah hanya perlu mengawasi agar tersangka tidak lagi terlibat kontak dengan jaringanya dalam bertransaksi narkoba.

Menurut Adhie M Massardi Mantan juru bicara Presiden KH Abdurrahman Wahid, mengatakan bahwa: "Kalau orangnya bersalah sih enggak masalah, masalahnya pengadilan di kita bermasalah, kalau pengadilannya bersih sih tak masalah mereka dieksekusi," (Sindo.com).

Sangat di sayangkan jika pengadilan kita mengalami masalah, keputusan hukuman mati harusnya di pikirkan dengan matang-matang sebelumnya, karna menyangkut nyawa seseorang. Terhitung dari bulan April Jokowi telah mengeluarkan keputusan akan mengeksekusi terpidana hukuman mati Bali Nine. Sampai saat ini, masih jauh dari kata terwujud. Mungkin kita bisa membenarkan beberapa statmen dari pakar politik bahwa: “Hukuman mati hanyalah politik pencitraan Joko Widodo, toh yang tertangkap bukan bandarnya”. Jika kasus ini tidak segera di dilaksanakan maka banyak pihak yang akan di rugikan, jelas hal ini akan memperngaruhi Psikoligi keluarga dan tersangka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline