Lihat ke Halaman Asli

Mendengarlah Agar Engkau Melihat

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya yakin bahwa “pikiran” – kemungkinan juga perasaan, dibentuk oleh apa yang kita dengar. Pikiran seorang yang tinggal dekat mesjid akan berbeda dengan pikiran seorang yang tinggal dekat lokalisasi. Pikiran seseorang yang tinggal dekat sawah yang penuh suara jengkerik dan kodok akan berbeda dengan pikiran seseorang yang tinggal di pemukiman padat dekat jalan raya yang penuh dengan suara teriakan dan deru kendaraan.

Mungkin karena itu sehingga pendengaran menjadi sesuatu yang paling penting. Anugerah pertama bagi seorang bayi – menurut para ahli, adalah pendengaran. Dalam Al-Qur’an selalu didahulukan “as-sam’a” (pendengaran) dari pada “al abshaara” (penglihatan), begitupun dalam hal pertanggungjawabannya. Seorang bayi akan terlebih dahulu mendengar dari pada melihat. Padahal telinga dan mata kita sama-sama dua, walau masih perlu dipikirkan kenapa telinga (harus) menghadap ke kiri-kanan dan tidak menghadap ke depan seperti mata, atau justru menghadap ke belakang agar kita bisa mendengar dengan lebih baik orang-orang yang berbicara di belakang kita.

Orang-orang lebih gampang terpedaya ketika mendengar “jilatan” dengan kata-kata dari pada melihat “jilatan” dengan penghormatan tangan atau bungkukan. Para pembisik akan berdiri di samping Raja dan akan membungkuk membisikkan sesuatu ke telinga tuannya. Kalau yang dibisikkan itu benar maka untung dan kalau yang dibisikkan itu salah maka buntung. Seorang yang tidak mampu menyaring bisikan lebih gampang jatuh. Itulah kenapa Abu Bakar memerintahkan menyumpal mulut para pemuji (tentu lebih-lebih para penjilat) dengan tanah. Banyak calon (Raja, Presiden, Gubernur, Bupati, Kepala Desa) gagal karena terlalu percaya dengan bisikan indah tim suksesnya. Seorang yang dikelilingi bisikan pujian akan sulit menerima kritikan. Seorang yang selalu dibisiki kepalsuan akan sangat sulit melihat kebenaran. Seorang yang selalu mendengar ilusi akan sulit melihat fakta. Itu pula kenapa para mata-mata dalam dunia intelijen justru mengandalkan telinga.

Suara bisa menembus cahaya dan gelap, sedangkan penglihatan tidak. Kita mampu mendengar suara rintihan teman dalam gelap, tapi tidak mampu melihat apa yang mereka perbuat.

Mungkin karena itu, kita seharusnya mengurangi study banding yang mengandalkan penglihatan dengan memperbanyak study nguping …

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline