Aura mudik sudah mulai menyeruak di sekitar kita. Pembicaraan di sekeliling sudah diwarnai pertanyaan 'Kapan mudik?'. Sesuatu yang tidak terucap selama dua kali Lebaran kemarin karena Covid 19 yang memaksa kita untuk merayakan Lebaran di rumah masing-masing.
Di kantor pun suasana mudik sudah terasa. Para pegawai sudah mengatur jadwal cuti agar tidak berbarengan dengan rekan kerjanya agar kinerja kantor tetap terjaga. Ritme pekerjaan semakin dipercepat penyelesaiannya demi bisa merayakan Lebaran di kampung tanpa beban kewajiban yang belum tuntas ditunaikan.
Obrolan ringan tentang bertukar oleh-oleh pun tidak ketinggalan. Sesuatu yang seperti menyatu dengan tradisi mudik. Hampir semua orang akan kembali dari mudik dengan membawa makanan khas daerahnya masing-masing sebagai buah tangan. Suasana kantor sehabis Lebaran dengan banyak jajanan daerah yang dinikmati ramai-ramai menjadi momen yang sangat dirindukan.
Mudik telah menjadi tradisi turun temurun. Suatu kesempatan yang diusahakan semaksimal mungkin untuk dapat dilakukan. Menyempatkan diri untuk pulang di waktu Lebaran bertemu dengan keluarga besar.
Mobilitas jutaan orang yang bergerak keluar dari kota tempat mengadu nasib menuju kampung halaman masing-masing dalam waktu yang bersamaan menjadi fenomena yang menarik untuk dinikmati. Melihat wajah-wajah lelah namun penuh kerinduan untuk segera bertemu dengan orang-orang terkasih.
Stasiun-stasiun televisi akan menyampaikan suasana arus mudik dan arus balik melalui siaran langsung dari berbagai tempat. Bandara, terminal, stasiun kereta api dan pelabuhan adalah pusat pergerakan orang yang memanfaatkan angkutan umum sebagai sarana untuk pulang.
Situasi kepadatan kendaraan dan kemacetan yang terjadi juga menjadi laporan yang berguna bagi pemudik. Walaupun sekarang sudah banyak aplikasi yang bisa membantu kita untuk memantau situasi lalu lintas, namun siaran dari televisi tetap menjadi sesuatu yang menarik untuk disimak. Semua stasiun televisi menjadikan laporan arus mudik dan arus balik Lebaran porsi terbesar dalam siarannya.
Sebelum jalan tol menjadi alternatif seperti sekarang, perjalanan mudik dari Jakarta ditempuh melewati jalur arteri, baik jalur utara ataupun jalur selatan. Segala jenis kendaraan menjadi satu berbarengan dalam satu waktu. Tentu saja kemacetan menjadi suatu keniscayaan.
Mudik Lebaran kemudian sering diwarnai cerita yang horor. Cerita tentang perjalanan mudik sampai berhari-hari adalah sesuatu yang lumrah kita dengar saat itu. Bagaimana tidak macet, jutaan kendaraan keluar dari Jakarta melalui jalan raya yang tidak didesain untuk dilewati sekian banyak kendaraan berbarengan.
Namun bagi para pelaku mudik, terjebak kemacetan puluhan jam tiap tahun tidak menjadikan trauma. Semua kisah yang terbawa selama perjalanan menjadi cerita indah yang tidak dapat dilupakan. Suasana kebatinan yang susah digambarkan ketika secara bersama-sama dengan jutaan orang mempunyai tujuan sama, bertemu keluarga.
Pemandangan yang beraneka ragam bisa kita temui. Rombongan motor dengan penumpang dan bawaan yang melebihi kapasitas adalah salah satu bentuk perjuangan para pemudik. Tidak terbayangkan memang betapa capek nya mengendarai motor dengan jarak sejauh itu. Tapi niat bertemu keluarga mengalahkan semua keletihan yang dirasakan.