Sebagai penikmat drama Korea, tidak berbeda dengan yang lainnya, saya sangat menikmati setiap detail dari pertunjukan drama itu. Mulai dari alur ceritanya yang tidak berbelit-belit, karakter-karakter tokohnya yang sangat kuat, pakaian yang dikenakan keren-keren dan rapi, lagu-lagunya yang mudah diterima telinga walaupun tidak tahu artinya dan tentu saja para pemainnya yang semuanya berwajah tampan, cantik dan licin seperti patung lilin.
Semua itu dikemas menjadi satu paket tontonan yang menyihir jutaan orang seluruh dunia yang rela begadang untuk menyelesaikan drama satu musim. Didukung dengan teknologi yang sangat canggih. drama Korea mempunyai kualitas visual tidak kalah dengan film barat. Memang Korea Selatan telah berhasil menjual ketenaran negeri ginseng itu melalui drama Korea nya. Perkembangan drama Korea sekarang tumbuh pesat berlomba dengan perkembangan KPop nya.
Dari sekian banyak adegan yang menghipnotis mata, ada adegan yang sangat menarik perhatian saya dan selalu membuat hati adem melihatnya. Yaitu kenyataan bahwa mereka selalu mengedepankan tata krama dan nilai-nilai moral serta etika kepada orang tua. Bahkan yang membuat saya selalu takjub dalam suatu cerita tentang perdebatan apapun disaat mereka hendak meninggalkan ruangan, masih dengan cara yang sopan menundukkan badan. Saya membayangkan sinetron Indonesia yang sering menampilkan adegan pertengkaran dan diakhiri dengan membanting pintu.
Bila dipelajari lebih dalam, budaya Korea memang diatur dengan sistem hierarki. Seseorang harus selalu menunjukkan rasa hormatnya kepada orang yang lebih tua. Ada beberapa bentuk penghormatan dari menunduk, membungkuk sampai dengan menyungkum tanah atau kalau kita lihat seperti bersujud. Masing-masing bentuk penghormatan itu dilakukan sesuai dengan moment dan tingkat kesenioran orang yang kita hormati.
Budaya penghormatan kepada orangtua merupakan budaya turun temurun yang harus dipatuhi di Korea. Pepatah yang sangat mereka yakini kebenarannya adalah "Raja, bapak, dan guru merupakan satu tubuh". Seorang guru menduduki kasta tinggi di Korea karena mereka percaya kualifikasi pendidik akan sangat berpengaruh kepada kualitas moral anak didiknya. Begitu agungnya mereka menjaga nilai-nilai moralitas.
Masih ada ditemui sekolah nonformal dengan sistem tradisional yang mengajarkan nilai-nilai moral dan etika. Sekolah yang berkomitmen untuk tetap menjaga nilai tradisional dan mendidik anak-anak muda tentang moral dan etika yang sudah menipis seiring perkembangan zaman. Bagaimana dengan di Indonesia?
Saat ini nilai-nilai sopan santun dan etika sudah mulai luntur. Dengan bebasnya arus informasi yang bisa dinikmati setiap saat dari genggaman tangan, sangat rentan pengaruh dunia modern ini mengikis nilai moral dan etika anak-anak. Kata-kata kotor dengan entengnya bisa keluar dari mulut anak kecil yang mereka tirukan dari obrolan orang dewasa yang mereka tonton di media sosial.
Bagaimana kita menjaga agar nilai moral yang sebenarnya juga menjadi budaya rakyat Indonesia itu tidak luntur? Saya rasa itu tidak menjadi tugas satu elemen saja. Tapi keluarga, sekolah dan lingkungan harus satu pemahaman untuk lebih aktif mengedukasi anak-anak dengan pelajaran moral dan etika. Bukan lagi dengan cara menjejali mereka dengan teori yang mungkin membosankan untuk didengar. Tapi dengan tindakan nyata yang lebih efektif sebagai contoh. Tiga kata ajaib maaf, tolong dan terimakasih sejatinya harus sudah mendarah daging dalam pola komunikasi kita.
Rasanya tidak terlalu muluk jika saya bermimpi suatu saat tontonan sinetron Indonesia pun mengadaptasi nilai-nilai budaya Indonesia seperti drama Korea.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H