Maskulinitas kerap kali menjadi sorotan di berbagai kalangan karena nilai-nilai yang melekat padanya. Di Indonesia, seperti di berbagai belahan dunia lainnya, konsep maskulinitas masih banyak dikaitkan dengan norma-norma tradisional yang mendorong laki-laki untuk menekan emosi dan berperan dominan.
Namun, dalam banyak kasus, konsep ini dapat berubah menjadi apa yang dikenal sebagai toxic masculinity, yaitu ketika nilai-nilai maskulinitas tradisional membawa dampak negatif, baik bagi individu itu sendiri maupun lingkungan sosial di sekitarnya.
Penelitian ini mengeksplorasi bagaimana toxic masculinity diturunkan dalam keluarga dan bagaimana peran lingkungan sosial turut berkontribusi dalam membentuk konsep maskulinitas di kalangan laki-laki muda Indonesia.
Pengertian Toxic Masculinity dan Implikasinya
Toxic masculinity mengacu pada internalisasi nilai-nilai maskulinitas yang ekstrem, seperti dominasi, kekerasan, dan penindasan emosi. Nilai-nilai ini tidak hanya menghambat perkembangan emosional, tetapi juga berpotensi menciptakan pola perilaku agresif dan membahayakan, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.
Dalam konteks budaya Indonesia yang kental dengan norma sosial dan tradisi, konsep toxic masculinity dapat terinternalisasi sejak usia dini, terutama dalam lingkungan keluarga. Nilai-nilai seperti "laki-laki harus kuat", "jangan menangis", atau "laki-laki harus memimpin" sering kali diteruskan dari generasi ke generasi, menciptakan ekspektasi tertentu terhadap perilaku dan peran yang diharapkan dari seorang laki-laki.
Peran Keluarga dalam Transmisi Nilai Maskulinitas
Penelitian ini menemukan bahwa keluarga, khususnya orang tua, memainkan peran yang sangat dominan dalam menanamkan nilai-nilai maskulinitas kepada anak laki-laki.
Dalam proses ini, ayah sering kali menjadi panutan dalam hal tanggung jawab, keberanian, dan kekuatan fisik, sementara ibu turut memperkuat nilai-nilai ini dengan mengarahkan anak-anak mereka pada perilaku yang dianggap sesuai bagi laki-laki.
Keluarga menjadi lingkungan pertama di mana anak laki-laki mempelajari apa yang diharapkan dari mereka sebagai seorang pria, dan nilai-nilai ini cenderung melekat hingga dewasa.
Selain itu, peran keluarga besar, seperti kakek, nenek, paman, atau kerabat lain, juga berpengaruh dalam memperkenalkan norma maskulinitas. Misalnya, dalam beberapa keluarga yang masih memper