Tung…tung…tung…dung! dung! dung!… dung! dung! dung!... Suara keras berirama terdengar dari arah halaman dalam sekolahku. Penasaran, hingga kurelakan meletakkan bolpen merah dan setumpuk koreksian tes tengah semester murid-muridku. Setelah aku buka pintu kelas, semakin keras terdengar irama ketukan-ketukannya. Asyik mainkan musik tradisional Ulangan tengah semester alias mid baru sehari usai. Jika di SD tempatku mengajar, hari Sabtu adalah hari libur buat anak-anak (kecuali gurunya). Ditambah hari Ahad, jadi deh 2 hari yang mengasyikkan. Yah, lantaran jam sekolah di hari efektif dimulai dari jam 7 hingga ba’da Ashar. Makanya sempat aku heran, kok libur-libur ada anak yang masuk. Ada sekitar 10 anak yang kulihat tengah asyik mainkan alat musik. Kaos oblong dan sangat terlihat santai. Oh mereka sudah janjian rupanya buat main bareng. Biasanya kan mereka pakai baju seragam model koko. Biar masih SD, toh idealisme mereka untuk memainkan 2 jenis alat musik tradisional oke juga. Yang satu gamelan jawa, yang satu djembe (sering disebut jimbe) asal Afrika. Adam (muridku kelas 5) yang biasanya berlatih dalang, kali ini memainkan Demung, bagian dari perangkat gamelan berbahan kuningan dengan 7 nada. Dipadukan rebana dan kendang yang ditabuh bergantian. Feeling ketukan dan irama masing-masing alat, oke juga. 3 alat mahir dikuasai Adam Sementara Anggit, yang hobi mukul-mukul meja, asyik bermain Kethuk. Ditambah gelengan-gelengan kepala yang sangat luwes. Ya, rata-rata mereka anak kelas 5 dan kelas 4. Anak-anak lainnya serentak menabuh djembe. Alat berbahan kulit kambing ini tingginya bermacam-macam. Ada yang 50 cm, 60 cm hingga 65 cm. Masih ada lagi alat yang mereka mainkan. Ada Sangban, Djundjun dan Kenkeni. Bahan yang digunakan berbahan kulit sapi dengan kayu mahoni ataupun kayu nangka. Aku menikmati permainan mereka. Meski jujur, aku sendiri belum bisa memainkan alat-alat ini. Tapi ada hal yang membuat ku bangga. Alhamdulillah, masih ada anak-anak yang menyukai dan mempelajari alat musik tradisional, tanpa sedikitpun merasa terpaksa. Dengan musik mereka saling menghargai, antara kakak kelas dengan adik kelas. Dengan musik mereka menghibur orang lain, tanpa batas usia. Dan dengan musik mereka bisa belajar menselaraskan perbedaan-perbedaan bunyi masing-masing alat. Saling menghargai perbedaan Sungguh bahagianya mereka. Bahagiaku juga, melihat cara 'cantik' mereka memadukan berbagai perbedaan dalam harmoni yang lebih indah dan bisa dinikmati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H