Rupa-rupa kehidupan manusia sangatlah unik. Masing-masing hadir sebagai suatu pribadi, dengan tampak muka yang tetap berbeda meskipun kembar, sifat yang bisa saja bertolak belakang dengan orang-tua atau intelegensia yang tentu tidak dapat disama ratakan.
Hadir pula warna yang melekat pada kulit, identitas keturunan suatu bangsa, dan berbagai nilai-nilai yang diyakini. Saya percaya, bahwa setiap pribadi membawa pesan dan peran khusus. Setiap manusia selalu berbeda. Tak akan sama.
Namun, ada satu kesamaan yang dimiliki oleh saya, anda, dan seluruh insan manusia. Beban, tekanan, masalah, pasti mengiringi kehidupan setiap kita. Mustahil untuk hidup tanpa elemen tersebut.
Pun, rupa-rupa beban, tekanan dan masalah tiap insan selalu unik. Ada seseorang yang tidak pernah pulang ke rumah, berharap untuk ditemukan. Ada yang berjuang untuk tetap tegar dengan caci maki benci dan pukulan pada saat di rumah.
Ada yang selalu bekerja dan berusaha namun belumlah cukup. Ada pula yang ditinggal pasangan yang lebih memilih insan lain. Ada yang memasang topeng di cermin setiap pagi, untuk menutup luka. Ada juga yang tetap bertahan untuk tidak makan hampir tiga hari, asalkan anak dapat jatah untuk makan. Saya rasa, ada banyak sekali permasalahan dan beban di setiap orang. Dan semua orang mengalami hal yang berbeda.
Suatu malam, saya pergi menemui teman saya. Lama tak jumpa, kami bertemu di suatu kafe yang tak jauh dari rumah, dengan harga yang biasa-biasa saja. Kami berbincang banyak, apa kabarnya, kerja dimana, masih dengan itu atau sudah dengan yang lain, keluarga baik baik saja, handphone terbaru, video gim yang sedang dimainkan, isu politik dan banyak hal lain.
Tiba-tiba, teman saya merubah mimkc muka menjadi serius. Aku punya masalah, katanya. Saya, sebagai kawan karib, bersiap mendengarkan. Berbagai rupa topik muncul di kepala saya. Pasti pekerjaan, oh bukan dia sudah membuka usaha baru. Apakah putus? Rasa-rasanya kemarin masih sempat pergi berdua. Pinjam uang? Ah mungkin saja.
Ternyata saya salah.
Dia mengawali cerita dengan kalimat yang tak akan pernah saya duga. "Kalau aku besok dipanggil Tuhan, tolong hadir tanpa muka sedih, ya" dengan senyum lebar dan tertawa kecil. Tak terima, saya kesal. Dikiranya omongan hidup mati itu bercanda. Teman saya tetap tersenyum. Saya diam. Tidak ada yang bersuara. Hanya sayup-sayup Bossa Nova penghias kafe. Saya memberanikan diri untuk membuka mulut, yang selanjutnya dipotong ucapan teman saya.
"Jantung. Ternyata jantungku kelainan. Sejak lahir. Aku baru sadar kemarin".
Kemudian, dilanjutkan dengan berbagai obrolan di meja Dokter. Bilik kanan dan bilik kirinya tertukar, begitu pula fungsi kedua ruang tersebut. Apabila dibentuk perumpamaan, jantung kawan saya adalah pompa sepeda, yang memaksa untuk mendorong sebuah truk. Dokter katakana mustahil. Nyawa adalah kehendak Ilahi, namun Dokter pastikan waktunya dekat.