1. Marxisme
Marxisme dalam hubungan internasional berakar dari pemikiran Karl Marx dan Friedrich Engels, dengan karya penting seperti "Manifesto Komunis" (1848) dan "Das Kapital" (1867). Kontribusi penting dalam konteks internasional juga datang dari Vladimir Lenin, yang melalui teorinya tentang imperialisme sebagai tahap tertinggi kapitalisme menyoroti bagaimana negara-negara kapitalis mengeksploitasi negara-negara berkembang.
Marxisme melihat hubungan internasional terutama melalui kelas sosial, di mana negara digunakan oleh kelas borjuasi atau kapitalis untuk mempertahankan dominasi mereka atas kelas pekerja (proletariat). Negara kapitalis dianggap mengeksploitasi sumber daya ekonomi dan tenaga kerja dari negara-negara berkembang, memperkuat ketidakadilan global melalui dominasi ekonomi dan militer.
Pandangan marxis menegaskan bahwa eksploitasi ekonomi dan imperialisme adalah penyebab utama konflik internasional. Hubungan antarnegara, terutama antara negara maju dan berkembang, sering kali didominasi oleh kepentingan kapitalis yang berusaha mempertahankan keuntungan ekonomi.
Sebagai contoh, praktik neokolonialisme di Afrika, di mana negara-negara maju dan perusahaan multinasional memanfaatkan sumber daya alam negara-negara berkembang dengan cara yang tidak adil, menunjukkan bagaimana kapitalisme global dikelola untuk kepentingan borjuasi internasional. Selain itu, lembaga-lembaga ekonomi global seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia dianggap sebagai alat negara-negara kapitalis untuk memperkuat dominasi ekonomi mereka atas negara-negara miskin.
2. Konstruktivisme
Konstruktivisme memberikan pendekatan yang berbeda, menekankan bahwa realitas dalam hubungan internasional tidak tetap, tetapi dibentuk oleh interaksi sosial dan pemahaman bersama. Teori ini dipopulerkan oleh Alexander Wendt melalui esainya "Anarchy is What States Make of It" (1992), yang menantang pandangan realisme dan liberalisme tentang sifat anarki dalam sistem internasional.
Aktor dalam konstruktivisme mencakup tidak hanya negara, tetapi juga individu, lembaga internasional, komunitas budaya, dan norma internasional. Semua aktor ini dipandang membentuk dan dibentuk oleh identitas kolektif serta proses sosial yang berlangsung secara dinamis. Misalnya, perubahan sikap negara-negara terhadap hak asasi manusia dan kedaulatan menunjukkan bagaimana norma internasional dapat berubah seiring waktu. Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT), yang muncul dari dorongan internasional untuk mengontrol senjata nuklir, menggambarkan bagaimana norma-norma tersebut dapat berkembang meskipun tidak semua negara memiliki pandangan awal yang sama. Identitas negara dan kebijakan mereka dapat berubah berdasarkan interaksi mereka dengan norma-norma global yang terus berkembang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H