RAKA PRAMADIKA KARTIWA PUTRA
IK1A
ILMU KOMUNKASI
UNIVERSITAS INFORMATIKA DAN BISNIS INDONESIA
Tumbuh menjalar di dalam ruang yang tak semestinya, dan mengusik kegunaan yang sebenarnya. Beberapa halte bus TMB (Trans Metro Bandung) kini terlantar akibat dari kurangnya ketertarikan masyarakat akan kendaraan umum. Ruas jalan yang tidak begitu luas di beberapa titik, fleksibilitas waktu, dan estimasi waktu yang perlu dibagi pada setiap penumpang yang memiliki rute berbeda, cukup mempengaruhi masyarakat untuk memilih kendaraan umum.
Masyarakat yang kekurangan kebutuhan papan atau tuna wisma tidak asing kita temukan di beberapa sudut halte yang ada di Kota Bandung, apalagi disaat terjadinya krisis iklim yang menghantam tentu halte menjadi pilihan utama masyarakat tuna wisma untuk bersinggah ataupun beristirahat bersama keluarganya. Ini terjadi seakan kurangnya fasilitas sebuah tempat tinggal atau kebutuhan papan masih marak di Kota Bandung yang tentu menjadi sebuah krisis selain krisis iklim yang terjadi di kota ini.
Di tengah terik siang hari kota Bandung sering dijumpai pula penyalahgunaan sebuah halte yang terlihat mencolok seperti digunakkan untuk berjualan para PKL (Pedagang Kaki Lima) yang tidak memiliki tempat layak berjualan lagi. Lalu terlihat sekumpulan anak muda yang hanya sekedar menongkrong bersama kawan-kawannya sepulang dari sekolah yang membuat tempat seperti halte ini menjadi lebih tidak relate dengan fungsinya sebagai tempat turun dan naik para penumpang bus.
Ruas jalan yang sempit di sekitar halte menentukan betapa tidak memungkinkannya masyarakat menggunakan TMB karena mempersingkat waktu menjadi faktor yang berpengaruh bagi masyarakat untuk memilih jalan yang lebih mudah. Apalagi sangat tidak efisien jika berimajinasi kita sedang berada dalam krisis iklim yang terjadi lalu bergegas untuk pergi ke kantor namun halte yang berada di sebrang jalan tidak memungkinkan. Tentunya hal itu berpengaruh terhadap keputusan masyarakat untuk lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi.
Faktor lainnya yang membuat TMB terbengkalai dikarenakan kurang adanya ketertarikan yang memicu ketidakpedulian masyarakat kepada kendaraan umum. Pemerintah seharusnya bisa memprogram ulang untuk menambah ketertarikan halte ini sedemikian mungkin seperti adanya rute perjalanan yang jelas dan teratur, pemesanan tiket online seiring pesatnya peradaban dan juga dengan pelayanan yang lebih mumpuni seperti kehadiran KRL Commuter Line di Jakarta dogma masyarakat terhadap kendaraan umum semakin positif.
Ada pula laporan pembongkaran halte yang diisukan akan menguras anggaran sekitar Rp.10 juta per halte untuk membangun kembali trotoar. Apakah hal tersebut dapat membuat dogma masyarakat terhadap kendaraan umum semakin positif? Atau justru semakin membuat masyarakat memiliki pikiran yang negatif dan resiko kepunahan sebuah kendaraan umum semakin tinggi? Tentunya akan membuat masyarakat lebih berpikiran negatif atau bisa lebih menganggap sepele kepada kendaraan umum karena posisinya saja sudah tidak diutamakan lagi.
Pentingnya pemahaman non-temporer masyarakat akan keberadaan halte yang minim semakin tak terbantahkan dengan banyaknya halte yang terbengkalai dan kendaraan umum yang menjadi minoritas ditengah konsumerisme masyarakat terhadap kendaraan pribadi. Entahlah jalan dengan membongkar halte benar atau tidak. Tetapi, sebaiknya halte dan kendaraan umum di-upgrade lebih baik dengan adanya sistem dan inovasi baru yang lebih menarik dibandingkan dengan pembongkaran yang biayanya jauh lebih besar dan juga menyebabkan overload.