Lihat ke Halaman Asli

Tindak Pidana Korupsi di Era Digital: Transformasi Kejahatan dan Respons Publik di Media Sosial

Diperbarui: 8 Januari 2025   21:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Raka Duta Adhira

NIM: 6702220057

Program Studi: D3 Teknologi Komputer

Universitas: Telkom Di era digital yang semakin maju, korupsi telah bertransformasi menjadi kejahatan yang lebih kompleks dengan memanfaatkan teknologi informasi. Fenomena ini menunjukkan bagaimana teknologi dapat menjadi pedang bermata dua: memberikan kemudahan sekaligus membuka peluang untuk kejahatan baru.

Transformasi Korupsi Digital

Korupsi di era digital telah mengalami evolusi signifikan dengan memanfaatkan teknologi informasi canggih sebagai sarana kejahatan. Para pelaku kini menggunakan berbagai modus operandi yang semakin kompleks, seperti manipulasi data anggaran melalui sistem elektronik, penggelapan dana menggunakan transfer digital terenkripsi, hingga pemanfaatan cryptocurrency untuk menyamarkan dan mencuci uang hasil korupsi. Dalam praktiknya, mereka memanfaatkan berbagai celah keamanan dalam sistem digital pemerintahan dan keuangan, menggunakan teknik canggih seperti manipulasi data Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA), pemalsuan dokumen elektronik, dan pengaturan pemenang tender secara tidak sah melalui sistem e-procurement. Kompleksitas jejak digital yang dapat dienkripsi, dihapus, atau disamarkan dengan teknologi modern membuat proses pelacakan dan pembuktian menjadi tantangan besar bagi penegak hukum.

Data dari PPATK menunjukkan terdapat 578 juta rekening bank, 144 juta e-wallet, dan ribuan transaksi aset kripto yang tersebar di Indonesia, yang semuanya menjadi tantangan tersendiri dalam memantau aktivitas mencurigakan. Para pelaku sering menggunakan identitas palsu atau nominee dalam transaksi teknologi finansial (fintech) untuk menyembunyikan asal-usul dana hasil korupsi. Tantangan ini semakin besar dengan kemampuan pelaku melakukan transaksi lintas negara secara digital, yang membutuhkan koordinasi internasional untuk penanganannya secara efektif.

Kasus Korupsi dan Respons Media Sosial
Salah satu contoh kasus yang mendapat sorotan luas dari publik adalah kasus korupsi yang melibatkan mantan Menteri Sosial, Juliari Batubara, dalam penyaluran bantuan sosial (bansos) untuk penanganan COVID-19. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan bukti berupa uang tunai yang signifikan, yaitu sekitar Rp 11,9 miliar, USD 171.085, dan SGD 23.000, yang diduga berasal dari praktik suap terkait pengadaan paket bansos. Skandal ini memicu kemarahan dan kekecewaan masyarakat, mengingat bantuan tersebut seharusnya menjadi penyelamat bagi rakyat yang terdampak pandemi. Di media sosial, kasus ini menuai kecaman dari berbagai kalangan, termasuk influencer, tokoh publik, dan organisasi masyarakat, yang menyerukan pentingnya integritas dan pengawasan dalam pengelolaan bantuan untuk rakyat miskin.

Reaksi Publik di Media Sosial
Berbagai tokoh publik memberikan tanggapan keras melalui platform media sosial mereka terkait kasus korupsi bansos COVID-19. Dr. Tirta, seorang aktivis pencegahan COVID-19, mengungkapkan kekecewaannya melalui Instagram, menyoroti bahwa bantuan yang seharusnya diperuntukkan bagi rakyat malah disalahgunakan untuk keuntungan pribadi. Ustadz Yusuf Mansur menjadikan kasus ini sebagai pengingat pentingnya amanah dalam setiap tindakan, terutama bagi para pemimpin. Deddy Corbuzier juga menyuarakan rasa kecewanya, terutama setelah sebelumnya mengundang Juliari dalam podcast berjudul "INDONESIA DAN COVID-19," di mana Juliari berbicara tentang pengelolaan dana COVID-19. Ironisnya, belakangan terungkap bahwa Juliari justru terlibat korupsi. Deddy bahkan merasa dibodohi, karena dua menteri yang pernah menjadi tamu podcastnya, yaitu Juliari Batubara dan Edhy Prabowo, ternyata sama-sama terjerat kasus korupsi.

Peran Media Sosial dalam Pengawasan
Media sosial telah menjadi wadah penting dalam mengungkapkan kasus korupsi dan memainkan peran signifikan dalam membentuk opini publik. Melalui platform ini, informasi terkait kasus korupsi dapat tersebar dengan cepat dan menjangkau berbagai kalangan masyarakat, mulai dari akademisi, aktivis, hingga masyarakat umum. Media sosial tidak hanya memfasilitasi akses terhadap informasi, tetapi juga membuka ruang diskusi yang luas bagi masyarakat untuk menyampaikan pandangan, kritik, dan dukungan terhadap upaya pemberantasan korupsi. Dengan sifatnya yang interaktif, media sosial memungkinkan masyarakat untuk berperan aktif sebagai pengawas sosial, di mana mereka dapat melaporkan tindakan korupsi, menyebarkan bukti, atau memviralkan kasus untuk menarik perhatian publik dan pihak berwenang. Selain itu, media sosial juga mendorong akuntabilitas para pemimpin dan institusi pemerintahan dengan memberikan tekanan sosial yang kuat. Dalam konteks ini, media sosial telah menjadi salah satu alat penting dalam pemberantasan korupsi, memungkinkan kolaborasi antara masyarakat, jurnalis, dan lembaga hukum untuk menciptakan transparansi yang lebih baik.

Solusi dan Pencegahan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline