Lihat ke Halaman Asli

π€π‘π˜π€ ππ”πŒπˆ

ππ”πŒπˆ π‚πˆππ“π€, 𝐒𝐀𝐒𝐓𝐑𝐀, ππ”πˆπ’πˆ

Senja, Terselip Tanya

Diperbarui: 22 Januari 2024 Β  16:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Darimana kau membaca kata-kata yang kulukiskan di liang gelapnya purnama,
dengan digma diksimu yang lahir dari rahim stigma. Aku yang berlayar dalam sloka kabut abu-abu, hanya kerap ditemani oleh sekoci keberanian sukma, yang kadang tersingkir ke pinggir pulau sepi tatkala angin dari barat begitu kuat dengan sapuan ombaknya.

Siapa yang akan membersihkan nanah luka pada ruam malam yang kerap mengabarkan suramnya sejarah, kenangan, serta beberapa tubuh gadis cantik yang kini telanjang dihadapan sang candra. Kaulah "cinta"
sebab dari semua lorong gelap ini terpahatkan.

Mutiara telah berpulang ke samudra sunyi,
jalanan mulai kembali bersyair sajak-sajak gelap. Ada benarnya pengadilan hujan kepada puisi; kala basah rintik mulai bertemu dengan batasan omega. Jemari kita pun basah, mengusap bening yang jatuh dari kedua bolamata realita.

Aku bosan memahat batu untuk kujadikan aksara puisi, telah lama kata-kata ini mati.
Satu windu semesta tak bersimfoni,
banyak hal yang hilang setelah badai laut sering menyergap di antara kerumunan tiang lampu-lampu kota yang roboh.

Degup pun kerap semaunya!

Terlalu panjang airmata para pengembara mencari untaian makna, risalah yang masih tertutup kabut dingin semeru.
Jantung kota bukan tempat yang tepat untuk kita bersembunyi dari malam nan cekam,
swara terus menuntut diri mencari muasalnya.

Sekali lagi aku bukan puisi yang tepat untukmu!

Lelaki dan perempuan yang saling jatuh cinta,
asmara saling mengisi harapan sampai kita lelah pada arah tujuan hidup yang sebenarnya.
Puisi menjadi korban bagi para perasaan,
tiada bisa rasa yang merahsa kita padatkan bersama satu makna; Cinta.
Hingga pada akhirnya semua pun harus mengakui, bahwasanya tiada secuil kekuasaan pohon dalam kemenangan.

" Akuilah saat ini semua pasti:
. "

Siapa yang menang kecuali hanya dia,
yang sombong dan kerap memberi samasta tubuh kita dengan warna luka, nanah, airmata,
dan kita tertawa bahak saat akhirnya kita akui bahwa memang kita telah "Kalah".
Kaulah Maha yang katanya "Segala-segalanya"
nikmatilah caraMu Menang, dengan bahasa kasih pun metta bagiMu.
( Tetapi tidak bagi ukuran kepalaku yang kecil,
sebesar batok kelapa saja dengan segala pengetahuan yang bermata buta. )

Selamat Tinggal: .

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline