Lihat ke Halaman Asli

Rajiman Andrianus Sirait

Penulis jurnal artikel dan lagu, sebagai editor beberapa buku Teologi dan pendidikan agama Kristen.

Bolehkah Bermimpi? Perspektif Teologi Kristen dan Psikologi

Diperbarui: 13 Januari 2025   14:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Desain with Canva

Bolehkah Bermimpi? Perspektif Teologi Kristen dan Psikologi

Oleh: Rajiman Andrianus Sirait

Dalam kehidupan manusia, mimpi sering kali menjadi bahan pembicaraan yang hangat. Apakah bermimpi itu baik? Bolehkah seorang Kristen bermimpi besar? Apakah mimpi hanyalah angan-angan kosong, ataukah ia memiliki tempat yang penting dalam kehidupan iman kita? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita akan meninjau mimpi dari sudut pandang teologi Kristen dan psikologi, yang dapat memberikan landasan bagi iman yang kokoh dan pengelolaan harapan yang sehat.

Mimpi dalam Perspektif Teologi Kristen

Alkitab menuliskan beberapa kisah-kisah mimpi dan visi yang memainkan peran penting dalam rencana Allah. Yusuf, misalnya, diberikan mimpi-mimpi yang menggambarkan masa depannya sebagai pemimpin besar (Kejadian 37:5-11). Daniel juga dikenal sebagai seorang ahli tafsir mimpi, yang melalui anugerah Tuhan mampu mengungkap rahasia besar (Daniel 2:19-23). Dalam Perjanjian Baru, mimpi menjadi alat komunikasi Allah kepada Yusuf, suami Maria, untuk melindungi bayi Yesus (Matius 1:20).

Namun, mimpi dalam Alkitab bukanlah tentang keinginan pribadi semata, melainkan sarana Allah untuk menyatakan kehendak-Nya. Mimpi-mimpi tersebut selalu terkait dengan rencana ilahi dan tujuan kekal. Oleh karena itu, dalam teologi Kristen, bermimpi bukanlah hal yang dilarang. Justru, mimpi yang selaras dengan kehendak Tuhan dapat menjadi sarana untuk membawa kita lebih dekat kepada-Nya. Sebagaimana Amsal 16:3 menyatakan, "Serahkanlah perbuatanmu kepada TUHAN, maka terlaksanalah segala rencanamu."

Namun, penting untuk diingat bahwa mimpi tidak boleh menggantikan kebergantungan kita kepada Allah. Ketika mimpi menjadi pusat hidup kita, menggantikan peran Tuhan, maka mimpi tersebut dapat menjadi berhala yang merusak iman.

Mimpi dalam Perspektif Psikologi

Dari sudut pandang psikologi, mimpi sering kali dianggap sebagai ekspresi dari keinginan, harapan, dan ketakutan terdalam manusia. Sigmund Freud, dalam teori psikoanalisisnya, menyebut mimpi sebagai "jalan utama menuju alam bawah sadar." Namun, psikologi modern melihat mimpi bukan hanya dalam konteks tidur, tetapi juga dalam konteks visi dan harapan hidup.

Psikolog Abraham Maslow, melalui teorinya tentang hierarki kebutuhan, menempatkan aktualisasi diri sebagai puncak kebutuhan manusia. Aktualisasi diri mencakup pencapaian potensi, yang sering kali dimulai dari mimpi besar. Bermimpi dapat memberikan motivasi untuk bertumbuh dan berusaha, sekaligus membangun ketahanan mental ketika menghadapi tantangan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline