Lihat ke Halaman Asli

Rajiman Andrianus Sirait

Penulis jurnal artikel dan lagu, sebagai editor beberapa buku Teologi dan pendidikan agama Kristen.

Menghadapi Krisis Kesehatan Mental di Kalangan Generasi Muda: Pendekatan Kasih dan Iman

Diperbarui: 20 Oktober 2024   07:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Desain By Canva

Kesehatan mental di kalangan generasi muda kini menjadi isu yang tidak bisa lagi diabaikan. Perkembangan pesat teknologi, tekanan sosial, dan perubahan pola hidup yang semakin kompleks telah memperburuk situasi ini. Ditambah dengan pandemi Covid-19 yang melanda beberapa tahun terakhir, gangguan kesehatan mental di kalangan remaja dan dewasa muda semakin meningkat. Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, lebih dari 19 juta penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas mengalami gangguan mental emosional, sementara lebih dari 12 juta lainnya menderita depresi. Angka-angka ini menunjukkan bahwa masalah kesehatan mental telah mencapai titik kritis.

Fenomena ini tentu sangat memprihatinkan. Di usia yang seharusnya menjadi masa paling produktif dan penuh semangat, banyak dari mereka justru terjebak dalam lingkaran kecemasan, depresi, dan perasaan tidak berdaya. Apa yang salah? Apakah kita sebagai masyarakat telah cukup memberikan dukungan? Kenyataannya, stigma terhadap kesehatan mental masih sangat kental di tengah masyarakat kita. Penderita gangguan mental sering kali dicap lemah atau kurang berusaha, sehingga mereka merasa takut untuk mencari bantuan atau sekadar bercerita tentang apa yang mereka alami.

Data terbaru menunjukkan bahwa sekitar 6,1% penduduk Indonesia yang berusia 15 tahun ke atas mengalami gangguan kesehatan mental. Hal ini diperburuk oleh tingginya angka bunuh diri yang mencapai 1.800 kasus per tahun, dengan hampir setengahnya (47,7%) berasal dari kelompok usia produktif, yaitu 10-39 tahun. Kondisi ini menunjukkan bahwa generasi muda berada dalam ancaman serius, tidak hanya dari segi kesehatan fisik tetapi juga kesehatan mental mereka.

Peran gereja dan institusi keagamaan dalam menghadapi isu ini tidak boleh diabaikan. Gereja memiliki posisi unik dalam masyarakat sebagai tempat yang seharusnya memberikan rasa aman dan dukungan emosional bagi siapa pun yang membutuhkannya. Sayangnya, tidak sedikit dari mereka yang mengalami masalah kesehatan mental justru merasa terisolasi dari lingkungan gereja. Ini adalah tantangan yang harus segera dihadapi.

Sebagai komunitas yang berlandaskan ajaran kasih, gereja memiliki kewajiban moral untuk mendampingi dan merangkul mereka yang sedang mengalami gangguan kesehatan mental. Gereja tidak hanya harus menjadi tempat ibadah, tetapi juga menjadi ruang yang aman untuk berbagi beban, mencari kedamaian, dan menemukan solusi. Dalam Alkitab, kita dipanggil untuk saling menopang dan mendoakan satu sama lain, seperti tertulis dalam Galatia 6:2, "Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus." Ayat ini mengingatkan kita bahwa sebagai pengikut Kristus, kita dipanggil untuk saling membantu, terutama bagi mereka yang sedang berjuang dalam beban mental.

Selain itu, kasih adalah landasan dari setiap tindakan kita, termasuk dalam menghadapi kesehatan mental. 1 Yohanes 4:18 menyatakan, "Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan," ayat ini mengingatkan kita bahwa dengan menunjukkan kasih tanpa syarat kepada mereka yang sedang bergumul, kita dapat membantu meringankan ketakutan, rasa cemas, dan stigma yang seringkali mereka alami.

Gereja bisa menjadi pelopor dalam menghapus stigma yang melekat pada kesehatan mental dengan memberikan bimbingan spiritual yang memperkuat ketahanan mental dan emosional generasi muda. Kristus sendiri menunjukkan kasih dan belas kasih yang tak terbatas, mengajarkan kita untuk merangkul setiap orang tanpa penghakiman. Dalam Matius 11:28, Yesus berkata, "Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu." Ayat ini menawarkan pengharapan bagi mereka yang tertekan secara mental, menunjukkan bahwa di dalam Kristus, ada kelegaan dan pemulihan.

Selain itu, masyarakat luas juga harus lebih peka. Pendidikan mengenai kesehatan mental perlu digalakkan di sekolah-sekolah dan komunitas. Remaja perlu diajarkan bahwa merawat kesehatan mental sama pentingnya dengan merawat fisik. Menunjukkan kerentanan bukanlah tanda kelemahan, melainkan langkah penting menuju pemulihan. Ketika kita sebagai individu, keluarga, dan komunitas mulai memahami bahwa kesehatan mental adalah masalah serius yang butuh perhatian, maka kita bisa mulai membuat perubahan.

Pada akhirnya, kita harus menyadari bahwa kesehatan mental generasi muda adalah investasi jangka panjang bagi masa depan bangsa. Jika kita tidak memberikan dukungan yang mereka butuhkan sekarang, kita bisa kehilangan generasi yang seharusnya menjadi pilar utama pembangunan di masa depan. Masyarakat yang sehat mental adalah masyarakat yang mampu berpikir kritis, kreatif, dan produktif. Mari bersama-sama menghentikan stigma, merangkul mereka yang butuh pertolongan, dan membangun generasi muda yang sehat jiwa dan raga. Sebagai gereja dan komunitas yang penuh kasih, kita dipanggil untuk menjadi terang bagi mereka yang sedang berjalan dalam kegelapan mental, membawa harapan dan penyembuhan melalui kasih Kristus. (RAS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline