Lihat ke Halaman Asli

Perempuan, Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim

Diperbarui: 20 September 2021   22:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Lingkungan hidup berjalan diatas bekas tapak kaki perempuan. Ratusan tahun telah berlalu, perempuan telah perjuangan melawan filsuf-filsuf patriaki, raja-raja feodal, politikus, bahkan dengan gagahnya memerdekakan diri dari tafsir tunggal atas teks agama yang subordinatif dan diskriminatif demi memperjuangkan haknya sebagai perempuan, manusia merdeka. 

Tergerak dengan perjuangan perempuan, lingkungan hidup pun memulai perjuangannya, dan untuk pertama kali menyuarakan suaranya melalui Christopher D. Stone dengan Papernya yang Masyhur "Should Tree have Standing?

Yang kemudian membuahkan gagasan-gagasan cemerlang yang kemudian mampu melahirkan etika baru yang kita kenal sebagai The New Kind of Ethic sebagai tanda bahwa hari ini, lingkungan hidup adalah subjek moral.

Apakah perjuangan ini telah usai? Kami rasa kita bahkan belum sejauh itu dari garis Start. Seperti perempuan masih terus berjuang melawan stratifikasi sosial subordinatif yang Masih bertahan di banyak negara sampai Hari ini (tak terkecuali dengan Indonesia), Pernikahan anak perempuan di bawah umur, perampasan hak pendidikan dan politik, pelecehan seksual dan masih banyak lagi. 

Seperti perempuan, obstekel yang harus dihadapi lingkungan hidup-pun kian hari kian mempersulit perjuangan; kebakaran hutan, monokulturisasi, bembabakan liar, tumpahan minyak di lautan, perubahan iklim dan masih banyak lagi.

Rasa solidaritas seperjuangan pun kian menguat. Tak hanya mengerti, perempuan adalah sosok yang paling merasa atas perjuangan lingkungan hidup dalam menuntut haknya, ini karena mereka telah lama berevolusi dalam perjuangan yang sama.

Perubahan Iklim dan derita perempuan

Perubahan iklim kian hari kian mencekam, bagi sebagian mereka dampaknya mungkin tidak seberapa namun itu cerita berbeda bagi Ntoya Sande (13) asal Malawi yang di paksa menikah oleh orang tua nya karena tak mampu lagi membiayai hidupnya akibat banjir yang menyapu bersih panen mereka atau bagi perempuan-perempuan Etiopia dan Sudan yang di tukar dengan hewan ternak oleh keluarganya karena kekeringan ekstrem yang mempersulit mereka (dw.com). 

Contoh lainnya terlihat di Afrika bagian tengah, tepatnya di sekitar danau Chad. 

Saat ini, 90 persen Danau tersebut telah menghilang. Hal itu tentu berdampak bagi penduduk asli nomaden. Karena garis danau yang surut, para perempuan asli sekitar harus berjalan lebih jauh untuk mendapatkan air (BBC). 

Dalam banyak kasus, kamp pengungsian bencana juga kerap melahirkan diskriminasi tersendiri terhadap perempuan seperti tidak adanya pemisahan antara perempuan dan laki yang berujung pada kekerasan berbasis gender ketika pembagian makanan atau obat-obatan terutama Dialami oleh perempuan yang menjadi kepala keluarga, ibu hamil juga lansia. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline