Lihat ke Halaman Asli

Bams (#2 Terminal)

Diperbarui: 18 Juni 2015   03:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

( Bagian Sebelumnya : http://fiksi.kompasiana.com/novel/2014/08/11/bams-prolog-679496.html)

[#2 Terminal]

RATUSAN ANGKUTAN umum itu berjejer. Seperti semut yang mengikuti adatnya. Rapi. Membentuk barisan bak parade. Angkutan yang tiap harinya berlalu-lalang ini tak pernah alpa dalam aktivitas keseharian.

Di depan ruang tunggu terminal, ratusan angkutan itu sedang menunggu giliran mengangkut penumpang. Angkutan yang didominasi warna biru ini memang menjadikan terminal sebagai tempat mengistrahatkan mesin.

Di sini, satu-satunya terminal yang membingungkan. Mau disebut terminal, takut salah. Khawatir mendefinisikan maksud terminal. Ia rupanya layak pasar. Di tempat ini, tidak hanya angkutan roda empat yang diijinkan meneduhkan aktivitasnya.

Bahkan, di sudut-sudut ruang tunggu ini, puluhan pedagang berjejeran menjajakan jualannya. Kami bisa berdesak-desakan untuk berebut tempat duduk. Apalagi, saat-saat memasuki hari-hari besar. Ruang kota yang seperti ini sangat menyempitkan kenyamanan.

Terminal ini diberi nama Gamalama. Nama terminal ini dipakai dari nama gunung yang paling dibanggakan. Selain fenomenal, ia mengisahkan banyak fakta tentang kesakralannya. Terminal Gamalama, sebutannya. Sebuah terminal yang menyisahkan tentang kehidupan anak-anak malang nan jalang.

Anak-anak kecil pada umumnya sibuk mencari masa depan. Berbeda dengan anak-anak ini, mereka senantiasa bergelut dengan kerasnya kehidupan diluar. Memaksa deritanya menjadi bahagia. Menuruti situasi sosial yang dikehendakinya sendiri.

Terminal mungkin satu-satunya tempat mereka mencari hidup. Keras. Kerja keras, hanya untuk bisa bertahan hidup. Menyusuri jalanan di tengah kagaduhan kota yang menjenuhkan. Melempari kemalasan pada sebuah prinsip untuk menemukan sesuap nasi yang sederhana.

Berprofesi sebagai penjual kantong plastik, penutup motor, penjual rokok liar, pedagang kartu seluler secara sembarangan telah melekat pada hidup mereka.

***

Nui tak bisa berbuat apa-apa. Semalam kejadian aneh sempat menyeret namanya ke kantor polisi. Korps berbaju coklat itu menangkap Nui tengah malam.

Pukul 01.30 WIT itu heboh setelah Nui diberi sangkaan terkait pemukulan dan rencana pembunuhan terhadap seorang mahasiswa yang sempat melintasi Terminal selepas Ba’da Isya.

Nui ditangkap dan dipenjarakan. Sial!

Remaja pendiam ini memang tak begitu mengerti masalah yang sedang menimpanya. Ia tak terlibat. Nui bingung menjelaskannya. Harus memulai dari mana. Padahal, pada kejadian pemukulan semalam, dirinya tidak sedang berada ditempat. Ini fitnah.

Sebelumnya, seorang mahasiswa dipukuli di sekitar ruang tunggu Terminal. Beberapa orang tak dikenal menghantam mahasiswa itu tanpa ampun. Entah apa penyebabnya, sampai media koran memuatnya, diduga aksi pemukulan itu memang dipengaruhi minuman keras.

Para pelaku yang memukul mahasiswa tadi, kalau diselidiki, sudah tak asing lagi. Orang-orang itu penghuni Terminal. Mereka hidup dan tidur beralas lantai Terminal. Pengaruh minuman keras kerapkali membuat mereka melakukan kekerasan.

Tapi, tidak bagi Nui. Ia sukar terjebak pada minuman keras. Meski besar dalam lingkungan ini, dirinya tak seperti anak-anak yang bermasalah itu. Ia pendiam. Sesekali angkat bicara, sesekali marah-marah. Lebih banyak diamnya.

Pemilik nama asli Wisnu Fahri ini bersama Bams berasal dari tanah yang sama. Mereka berdua ada di sini karena kekejaman perang itu. Wisnu atau disapa Nui ini, sedari dulu saat kecil sudah terbiasa diajarkan tenang. Setelah kepergian orangtua mereka pada perang Halmahera itu, segalanya belum terlalu berubah. Soal mimpi dan masa depan adalah suatu hal yang masih mereka pikirkan.

Di sini, di Terminal ini, Nui ditangkap. Atas ulah teman-temannya, ia sekarang dikurung dalam hotel prodeo seluas kamar kos-kosan.

“Aku tidak merasa bersalah Pak Polisi,” ujar Nui pada sejumlah polisi yang berdiri di sekitar kurungan para tersangka.

“Ssst.. Diam, jangan banyak bicara anak nakal,” sahut seorang polisi berbadan kurus sembari senyum sinis padanya.

Nui marah, tapi dalam hati. Ia memang saat ini tak bisa berbuat lebih. Ruangan seluas 3 x 4 meter itu sangat membunuh kebebasannya. Karena merasa amarahnya dilantarkan begitu saja, ia memilih membaringkan tubuhnya di atas lantai yang dilapisi tikar kecil. Tidur beralas tikar memang tidak memberatkan seorang Nui, tapi kali ini nyamuk-nyamuk nakal sangat menganggu ketenangannya.

Nui pun lelap. Selama 4 jam lebih ia tertidur. Menjelang pukul 07.00 WIT ia dibangunkan petugas.

“BANGUN.., BANGUN!!!” Teriak petugas gendut yang genit itu. “Bangun.... Bangun.....

Dengan sedikit berat, Nui mengangkat kepalanya.

“Ayo bersih-bersih,” desak petugas tadi sembari memaksa Nui agar bergerak lebih cepat lagi.

Sebulan Setelah Kejadian Itu..

Bams gelisah. Sudah beberapa hari ini, ia tak melihat Nui menjajakan jualannya. Nui yang setiap hari biasa menjual kantong plastik kini sedang menjalani hidupnya di kurungan. Bams baru menyadari setelah ia mendengar cerita dari Vifa, bahwa adiknya Nui itu ditangkap polisi. Vifa, gadis kecil nan imut ini menceritakan semuanya pada Bams.

Bams sadar bahwa saat kejadian pemukulan pada seorang mahasiswa yang dilakukan teman-temannya telah menjebak adiknya. Nui jadi tersangka atas ulah teman-teman nakalnya.

Menggunakan kaos oblong mini berwarna coklat. Celana pendek tua dengan corak sepak bola—ia gunakan berminggu-minggu. Nui tak ambil pusing. Ia terbiasa dengan debu-debu. Ia mengerti tentang kekurangannya. Pakaian dengan celana seperti itu, ia mampu bertahan selama apapun.

Sebulan setelah penahanan, entah ada angin apa, seorang Nui dibebaskan dari kurungan penjara yang membosankan itu. Meski begitu, ia sebenarnya senang juga. Selama berminggu-minggu, Nui diberikan makanan secara cuma-cuma. Ia pikir tak perlu mencari nafkah.

Hanya dengan mengurung diri di balik terali besi, dirinya pun bisa menikmati makanan-makanan enak. Rasanya tak perlu berjualan kantong plastik lagi. Namun, fana sepertinya. Seorang Nui, hari ini, tepatnya akhir desember 2005, harus kembali ke sebuah ruang yang bernama Terminal. Ruang dimana anak-anak seperti Nui harus menuruti kehendak alam. Siapa survive, ia yang mampu bertahan.

“Nui, kau sudah kembali, kami benar-benar takut saat kau ditangkap,” sapa Vifa, adik gadisnya.

Nui diam. Rupanya ia masih terpikir teman-teman nakalnya.

“Woi, jawab dong pertanyaanku,” tanya Vifa.

Nui masih diam. Setelah satu menit kemudian, Nui baru menganggul kepalanya. Kali ini ia tak langsung menyahut tanya Vifa tadi. Ia balik bertanya. Siapa-siapa saja yang menyeret dirinya masuk di penjara. Ia benar-benar tak terima.

Nui berlari ke arah sebuah ruang tunggu. Disana ada Bams yang menjajakan kartu seluler di sejumlah penumpang terminal. Puluhan orang berdiri menunggu giliran menaikki angkutan umum. Ada beberapa mahasiswa yang duduk tak jauh dari lokasi angkutan-angkutan itu berjejeran. Di sekitarnya lagi, ibu-ibu juga sibuk menunggu kesempatan menaikki angkutan. Bams memang berada di sekitar kerumunan itu.

Lalu, tak lama berselang, Nui muncul sembari tarik-tarik napas. Nui ingin segera tanyakan tentang kejadian yang membuat ia terkurung di penjara. Bams melotot. Kaget. Adik tercintanya sudah kembali. Bams cepat-cepat memeluk Nui. Mereka menuruti rindu di keramaian terminal.

“Aku sudah mendengar kejadian itu, mereka harus kita laporkan ke Om Badrun,” ujar Bams pada Nui.

“Om Badrun pasti tidak peduli lagi dengan masalah ini, Kak,” balas Nui, pesimis.

“Tidak Nui, kita harus laporkan kejadian ini pada Om Badrun, biar mereka dihajar,” desak Bams.

“Baiklah, kalau itu maumu.”

Dengan setengah berlari, Om Badrun penjaga Terminal Gamalama itu, menuju sebuah gedung kosong yang jaraknya tak jauh dari lokasi pedagang Kaki Lima. Di tempat ini, anak-anak jalanan biasanya mengistrahatkan lelah usai bekerja. Wajah Om Badrun memerah. Ia sepertinya marah.

Tidak seperti seorang Brucelle, atau James Bond, tapi Om Badrun memang benar-benar ditakuti di area Terminal ini. Badannya kekar. Agak berminyak dan berotot. Boleh dibilang mirip Ade Rai, seorang atlet binaraga yang tersohor itu. Tapi ini Om Badrun, namanya. Fisik yang sangar itu membut anak-anak jalanan di seputaran Terminal sering menghindar saat mendengar kedatangan Om Badrun.

Kali ini, mereka tak bisa menghindar. Om Badrun secara tiba-tiba muncul. Mereka kaget. Takut. Gemetar. Salah tingkah. Tak bisa berbuat apa-apa. Lekas Om Badrun melempar pertanyaan, “Siapa-siapa yang terlibat dalam pemukulan mahasiswa?” penuh amarah sembari menunjuk-nunjuk mereka yang semakin kempes nyalinya.

“Ahh..., Sakit Om, Sakit Om, Sakit, Ampun, Sakit Om,” teriak Yongki berkali-kali.

Yongki sih ketua regu anak-anak nakal ini dipukuli berulang-ulang. Om Badrun benar-benar marah. Terus memukul. Menggampar. Memukul. Dan masih memukul. Tangan berotot itu melayang diwajah mereka satu per satu. Yongki dipukuli, disusul yang lainnya. Gong dipukuli. Ansar dipukuli. Faris Dipukuli. Semua anak-anak yang terlibat kejadian itu dipukuli.

Merasa puas, Om Badrun kembali ke Terminal. Berjalan menuju ruang tunggu menemui Bams yang sedang keasikan bercakap-cakap. Ia sedang bersama Vifa dan Nui. Bercerita tentang suatu hal yang masih mereka pikirkan. Suatu hal yang mengantarkan mereka jadi tahu mendidik diri sendiri. Om Badrun mendekat. Mendengar percakapan anak-anak malang itu.

Mereka larut dalam cakap. Tenggelam dalam cerita kecil anak-anak Halmahera. [...]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline