Lihat ke Halaman Asli

Sarinah, Pembantu yang Menjadikan Soekarno Seorang Pejuang

Diperbarui: 19 Januari 2016   21:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

["Kutipan Bung Karno tentang sosok Sarinah yang tertera di gedung Sarinah Malang."]

 

Soekarno adalah sosok penting dalam perjalanan bangsa Indonesia, sebagai pemikir dan pendiri negara. Namun di balik sosoknya yang kharismatik, ada sosok seorang pembantu perempuan yang turut membentuk karakter Soekarno. Dialah Sarinah, perempuan asal Kabupaten Tulungagung, yang perannya hampir tidak disebut dalam sejarah, kecuali oleh Soekarno sendiri.

Sarinah adalah pembantu rumah tangga saat Soekarno tinggal di Tulungagung saat berusia empat hingga enam tahun, bersama eyangnya, Raden Hardjodikromo. Selama tinggal bersama kakeknya inilah, Soekarno “dititipkan” dalam asuhan Sarinah. Sarinah tidak menikah dan tinggal di dalam keluarga Soekarno.

Setiap pagi, Soekarno menemani Sarinah saat pembantu tersebut memasak di sebuah gubuk yang difungsikan sebagai dapur. Di saat itulah, Sarinah selalu berpidato kepada Soekarno.

“Karno, pertama engkau harus mencintai ibumu. Kemudian, kamu harus mencintai rakyat jelata. Engkau harus mencintai manusia umumnya,” demikian dikutip dari buku Sarinah, hasil tulisan Soekarno.

Pidato tersebut selalu diulangi setiap hari, dan mengisi pemikiran dan hati Soekarno kecil. Pidato dari seorang pembantu itulah yang kemudian melandasi pemikiran Soekarno, tentang pentingnya peran perempuan dalam pergolakan kemerdekaan. Ketika itu, Soekarno begitu prihatin karena pergerakan kemerdekaan belum banyak menyentuh aspek wanita.

Dalam rentang tahun 1948 hingga 1949, saat Soekarno pindah ke Yogyakarta, Soekarno menggelar kurus “kursus wanita”. Dalam kursus tersebut, beliau mengajak seluruh perempuan Indonesia untuk segera insyaf dan ikut serta dengan segera dalam perjuangan. Dari kursus ini lalu lahirlah sebuah slogan revolusioner untuk perempuan,

“Hai Perempuan-perempuan Indonesia, jadilah revolusioner! Tiada kemenangan revolusioner, jika tiada perempuan revolusioner, dan tiada perempuan revolusioner, jika tiada pedoman revolusioner!”

Sementara materi yang dipakai Bung Karno dalam kursus tersebut dikumpulkan dan diterbitkan dalam buku yang diberi judul “Sarinah”. Nama Sarinah sengaja dipilih sebagai wujud terimah kasih kepada pengasuhnya saat masih anak-anak. Dalam pengantar buku tersebut Soekarno menyebut Sarinah sebagai “mbok” (panggilan ibu dalam bahasa Jawa).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline