Lihat ke Halaman Asli

Perang Baliho, Komunikasi Politik Jalanan

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perang Baliho, Komunikasi Politik Jalanan

Oleh : Turah Untung

Hari-hari ini kita seperti dikepung baliho caleg. Kemana-mana menemui baliho caleg, tersebar massif dihampir setiap sudut kota. Baliho yang ada sepertinya, memberi pesan politis, pilihlah “aku”. Pilleg memang masih jauh, tetapi gambar caleg telah gencar memborbadir kita dengan baliho.

Hampir merata disemua partai gencar memasang gambar, meskipun pilleg masih jauh (9 April 2014). Entah mengapa para caleg hampir seluruhnya berlomba memasang baliho. Apakah pemasangan baliho ini dianggap sesuatu yang efektif ? Atau akhirnya hanya jadi sapaan sunyi di pinggir jalan. Atau malah membuat kita menjadi bosen, karena senyum mereka tanpa “rasa”, dilihat saben hari hingga menjadikan kita bosen.

Baliho caleg yang tumbuh subur di pinggir jalan, seperti benih yang bersemaian karena curah hujan yang tinggi. Jika kita menyusuri jalur lintas provinsi di jalur pantura sampai diperkampungan pemandangan baliho caleg bisa dipirsa. Bukan hanya dipinggir jalanan ramai, tempat publik seperti pasar tak luput dari gambar caleg; seperti jamur, baliho berbiak hingga jalanan gang di pelosok kampung.

Semua ingin menciptakan pemandangan baru yang memuat verbal pesan “pilih aku”, nampak kegenitan dari foto caleg di jalanan. Bujuk rayu dengan sejumlah citra diri jadi tema kampanye terselubung. Menjadikan setipis ari perbedaan antara tulus atau “ada mau”-nya. Jika disimak dari pose mereka, rata-rata tanpa dosa, entah yang incumbent, terlebih-lebih yang baru pentas.

Baliho caleg seakan hari-hari ini mengusik hiruk-pikuk iklan komersil. Batang pohon, tiang listrik, tembok rumah, dan gawang reklame tiba-tiba dipenuhikesemrawutan baru “dagangan” politik; seakan menggantikan keteduhan pohon-pohon pinggir jalan dengan kegerahan yang warna-warni konsestan pemilu.

Kemeriahan citra visual pesta rebutan kursi parlemen! Tiba-tiba menjadi melodrama yang mengusik panggung jalanan. Inilah dunia citra yang hendak dibangun para kandidat dengan penuh sapaan, warna-warni rona, namun binal dan latah tak terasa muncul disana. Inilah medan tempur pseudo penuh seruan, ajakan, teriakan, permohonan, dengan baju, simbolisme wajah klimis tanpa jerawat permakan fotoshop, menjadikan alat manipulasi wajah sesungguhnya para caleg.

Ya, inilah perang baliho antar caleg, sebagaimana perang bendera partai. Ini bukan sekadar perang merayu calon untuk merebut suara menuju perang sesungguhnya perebutan suara di bilik pada hari H pemilu nanti. Ini adalah perang gengsi antar caleg. Sepertinya lewat perang baliho di pinggir jalan, mereka tengah bersaing membuat citra visual yang megah atau sekedar unjuk kekuatan yang bisa dilihat dari jumlah, ukuran, posisi serta penampilan fotografi baliho caleg.

Baliho akhirnya menjadi bahasa sandi, sebelum kemenangan suara yang bisa dilihat dari hasil bilik suara, karena sebelum pemungutan dan penghitungan suara, saatnya untuk mencari kemenangan gengsi. Saatnya caleg bicara, “Aku bisa (gengsi di mata calon pemilih)!”****Penulis adalah Peminat Masalah Sosial Politik, Juga Staf Humas Setda Kota Tegal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline