Lihat ke Halaman Asli

Debat Capres, Sawah 2 Juta Ha dan Burung Gereja Galau

Diperbarui: 20 Juni 2015   03:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Menyaksikan Debat Capres II (15/06/14) di TV membuat saya senang juga galau. Betapa tidak, positioning kedua calon yang bertolak-belakang membuat simpatisan seolah tersihir hingga mereka terpilah menjadi dua kubu yang berseberangan. Yang satu tampil gagah dan bersemangat seperti seorang ksatria, sedang yang satu lagi tampak lemah lembut dan sederhana seperti pertapa yang kelaparan.

Keren abiez...! Banyak pengamat (amatir) mengagumi penampilan Pak Prabowo sebagai seorang ksatria yang tegas, lantang, berani, sportif dan sebagainya, tetapi tak sedikit yang terharu kesederhanaan Pak Jokowi yang tak mau mengumbar janji-janji surga yang ”mewah” dan fantastis serta tak mau meremehkan orang lain.

Untuk saya, Pak Jokowi terkesan terlalu lembut bahkan isi paparannya terasa seperti ”klise” yang sudah dicetak berulang. Itulah sebabnya (sepintas lalu) terlihat dominansi Pak Prabowo dalam debat itu. Pak Prabowo (seperti) telah memenangkan debat karena tampil percaya diri dan yakin akan mampu merealisasi janji-janjinya. Jadi saya harus bilang, ”Waaauw...!”.

Yang membuat saya galau adalah saat Pak Prabowo bicara tentang pembangunan 4.000 Km jalan baru, mencetak sawah 2.000.000 Ha dan 2.000.000 Ha kebun untuk penyediaan bio etanol pada lahan hutan yang rusak (lahan kritis), dengan dana dari hasil penutupan kebocoran anggaran pula.

Kegalauan berawal dari pengaruh pengalaman saya sering survey ke lahan-lahan hutan yang rusak di berbagai daerah, lahan-lahan yang dikonversi jadi perkebunan atau pertanian, dan beberapa kali survey ke proyek gagal pencetakan 1.000.000 Ha sawah di lahan gambut Kalimantan Tengah pada zaman orde baru. Otak polos saya betul-betul tak mampu mencerna janji-janji seperti itu sehingga merasa diri bertambah bodoh.

Membuat jalan baru yang bagus tentu bukan pekerjaan gampang. Dalam kenyataan, pembebasan lahan untuk jalan raya selebar 10 meter sepanjang 10 meter di simpang jalan saja sering sangat sulit, apalagi membangun 4.000 Km jalan baru. Mengunakan dana hasil menutupi kebocoran untuk ”janji” itu tentu bukan jalan mulus. Andai angka 1000 T rupiah benar-benar ada, ”bukankah angka itu berada pada pos-pos anggaran tertentu yang sudah ditetapkan? Apakah mengalihkan pos-pos anggaran itu semudah mengatakannya?”

Kemudian tentang mencetak 2.000.000 Ha sawah baru dan 2.000.000 Ha lahan kebun untuk mendukung pembuatan bio etanol pada lahan hutan yang rusak, sekaligus penyediaan lapangan kerja bagi 24.000.000 orang sungguh membuat saya gusar. Pertanyaannya: (1) Bukankah hutan-hutan yang rusak itu berada di gunung, lereng-lereng dan lahan gersang? Bagaimanakah sawah-sawah itu mendapatkan air? (2) Bagaimana mungkin lahan 1 Ha sawah bisa mempekerjakan dan menghidupi 6 tenaga kerja, karena di Jawa yang tanahnya subur saja sangat jarang lahan 1 Ha bisa menghidupi 6 tenaga kerja secara kontinyu? (3)Siapakah yang akan disuruh mengerjakan sawah seluas itu? Apakah orang-orang dari Jawa mau ke lereng-lereng bukit itu? Bukankah program transmigrasi kita yang jelas-jelas ditempatkan pada lahan subur masih saja banyak yang gagal?, (4) Apakah masalah sosial, budaya dan politik regional dipertimbangkan? (5) Masalah ekologi dan konservasi tanah, (6) Masalah tata guna dan tata ruang, (7) dan banyak hal lagi.

Selain pertanyaan di atas, pengalaman Indonesia pada proyek mencetak 1.000.000 Ha sawah di lahan gambut di Kalimantan Tengah pada zaman Orde Baru hingga kini masih menyisakan banyak masalah. Banyak lahan yang dulunya kebun rotan sekarang menjadi alang-alang, lahan sering terbakar atau dibakar, lahan menjadi miskin hara dan air menjadi masam, pergeseran mata pencaharian warga dari tani beralih menjadi petani karet atau dari petani mandiri menjadi buruh perkebunan kelapa sawit dan banyak lagi.

Bahkan kerusakan yang lebih parah lagi adalah banyaknya lahan padi sawah dan padi ladang diubah menjadi kebun karet karena panen padi padi rendah berkisar hanya 1-2 ton/hektar. Bandingkan dengan tempat lain yang bisa mendapat panen padi 3-4 ton per Ha bahkan bisa 5 ton/ha.

Hal yang paling mengenaskan adalah banyaknya warga desa ini bekerja jadi buruh atau merantau ke luar daerah sehingga lahan-lahan yang mereka tinggalkan menjadi terlantar. Lahan terlantar sangat rentan dibakar dan terbakar. Dari lahan terlantar ini, api liar bisa melalap perkebunan dan lahan tanaman warga lainnya. Kebakaran inilah juga yang menjadi momok bagi pemerintah karena kabut asap mencemari lingkungan.

Selain kebakaran dan asapnya juga munculnya hama-hama tanaman seperti tikus, belalang bahkan babi yang mendapat tempat nyaman untuk berkembang biak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline