Sabtu malam minggu, ketika sebagian orang merayakan malam tersebut dengan nonton film di bioskop, aku hanya terpaku depan laptop mengerjakan beberapa laporan yang harus sudah dikirim pada Senin esok.
Di tengah derasnya hujan yang membuat Bandung tak lagi estetik, fokusku terdistraksi oleh pesan panjang di sebuah grup WhatsApp. Aku pun membuka, membacanya, dan mencernanya secara perlahan.
Aku penasaran dengan isi pesan tersebut. Kiranya riuh ramai apakah yang sedang terjadi?
Hasratku untuk memberikan reaksi, aku tahan. Kukembalikan fokusku pada laporan yang sedang kukerjakan. Tapi entah kenapa, jari jemari seperti bergerak sendiri membuka aplikasi Facebook.
Aku kembali mencari dan membuka status seorang teman yang sebelumnya sempat kukasih emoji.
"Aiiihhh,,, mungkin status ini ada hubungannya dengan keriuhan di pesan WhatsApp", gumamku dalam hati.
Sebuah pertanyaan tentang "dipilih" dan "tidak dipilih" menjadi penuh dalam kepalaku. Mengapa kita memilih menggugat takdir ketika berada pada posisi yang "tidak dipilih"?
Seketika aku teringat pada peristiwa beberapa tahun silam.
Aku dihubungi oleh salah seorang tim promo sebuah film. Aku diminta datang ke acara premiere filmnya. Ia menjanjikan beberapa benefit jika aku bersedia datang. Tentunya juga disertai dengan beberapa kewajiban yang harus aku tunaikan.
Aku menyetujuinya. Namun, dua jam sebelum acara digelar, ia membatalkan perjanjian tersebut. Ya sudah. Aku tidak jadi pergi.
Semula aku berpikir, ia memang batal menggunakan jasa blogger untuk promo filmnya. Tapi circle blogger terkadang sesempit itu.