30 Hari Mencari Cinta adalah film pertama yang saya tonton di bioskop. Film yang mengawali saya jatuh cinta pada sinema. Karenanya, tentu saya tidak akan pernah bisa melupakannya.
Saat itu ketika SMP, saya dan teman-teman mencoba bioskop satu-satunya di kota Sukabumi. Nggak ada rencana mau nonton apa, apalagi cek info dan trailernya terlebih dahulu. Murni, hanya sebagai ABG (remaja) kampung yang penasaran dengan bioskop.
Sayangnya, bioskop tersebut tak bertahan lama. Saya yang terlanjur jatuh cinta pada sinema, terpaksa menuntaskan hasrat menonton dengan pergi ke Tajur, Bogor. Bioskop di Tajur adalah bioskop terdekat dari tempat tinggal saya dengan jarak sekitar 120 kilometer pulang pergi.
Semakin hari, hasrat cinta pada sinema semakin tak terbendung. Memilih kuliah di Bandung agar bisa mencoba berbagai macam bioskop dan fasilitas studionya yang berbeda-beda.
Tapi seiring dengan banyaknya pengalaman menonton, sejujurnya apa yang ditawarkan dari persoalan teknis bioskop, semakin lama jadi semakin terasa biasa-biasa saja. Semisal nonton film di 4DX ya cukup sekali dua kali saja. Sekadar menuntaskan rasa penasaran.
Justru pengalaman nonton yang berkesan hadir dari filmnya itu sendiri dan juga respons estetik dari penonton lainnya.
Tentang respons estetik penonton terhadap (karya) film
Ada orang yang lebih senang menonton dalam keadaan sepi, ada pula yang senang menonton dalam keadaan ramai. Secara pribadi, saya memang lebih senang menonton dalam keadaan sepi. Saya bisa fokus terhadap film yang sedang saya tonton tanpa terdistraksi oleh reaksi penonton lain.
Tapi kalau didalami lebih jauh, reaksi penonton lain bisa menjadi bahan bakar diskusi yang menarik.
Sederhananya begini. Pernah nggak kamu tertawa melihat suatu adegan tapi penonton lain nggak ada yang tertawa? Atau malah sebaliknya, ketika penonton lain tertawa terbahak-bahak, kamu malah mengernyitkan kening karena merasa tidak ada lucunya?
Saya punya pengalaman ketika menonton Once Upon a Time... in Hollywood (2019) karya Quentin Tarantino. Jujur saja, saya hampir tidak bisa tertawa, menangis, atau memberikan reaksi sepanjang film tersebut, kecuali di adegan akhir film.
Tapi teman saya bisa tertawa terbahak-bahak bahkan sampai terpingkal-pingkal. Usut punya usut, dia tertawa karena paham apa yang dijadikan jokes dalam film tersebut, yakni tentang keadaan industri perfilman Hollywood di masa yang dijadikan latar film. Sementara referensi saya akan hal tersebut, bisa dibilang sangat minim.