Dalam sejarah industri film Indonesia, film Ayat-Ayat Cinta (2008) karya Hanung Bramantyo punya histori tersendiri. Bagaimana tidak, film ini mampu menyedot sekitar hampir tiga juta penonton hanya dalam tiga minggu penayangannya.
Selain itu, film produksi MD Pictures ini juga berhasil membawa kelompok-kelompok relijius berbondong-berbondong menonton film tersebut. Kelompok relijius yang saya maksud di sini adalah seperti ibu-ibu pengajian, anak pesantren, para ulama, hingga orang-orang yang selama ini menghindari mall dan bioskop karena dianggap tempat yang 'tidak islami'.
Tak selesai sampai di situ, Ayat-Ayat Cinta juga mendapat perhatian serius dari para tokoh besar seperti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menilai bahwa film ini bisa menjadi media yang tepat untuk menebarkan nilai-nilai Islam. Pujian juga dilontarkan oleh Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid hingga pimpinan PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin.
Note: jabatan yang disebutkan adalah jabatan mereka di tahun tayang Ayat-Ayat Cinta.
Bak dua sisi mata uang, kehadiran Ayat-Ayat Cinta yang direspon positif juga menuai kontroversi. Sebagai film yang diadaptasi dari novel best seller karya Habiburrahman El-Shirazy berjudul sama ini, dianggap melenceng jauh dari novelnya.
Ayat-Ayat Cinta versi film dianggap lebih banyak mengeksploitasi kisah cinta yang justru tak terlalu ditekankan dalam novelnya. Film ini tak jauh berbeda dengan film drama lainnya yang menceritakan kisah percintaan anak muda.
Sekadar informasi, Ayat-Ayat Cinta bercerita tentang seorang pemuda muslim Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di Mesir. Di sisi lain ia memiliki pergulatan asmara dengan empat wanita yang mencintainya sekaligus. Empat lho ya.
Suatu ketika Fahri (diperankan Fedi Nuril), pemuda tersebut menikahi salah satu wanita yang mencintainya yakni Aisha (Rianti Cartwright). Hal tersebut menimbulkan kecemburuan di antara ketiga wanita yang lain. Bahkan salah satu dari wanita tersebut rela memfitnah Fahri hingga Fahri harus rela mendekam di penjara.
Kasus ini membuat Fahri terpaksa menikahi Maria (Carissa Puteri) yang sedang sakit parah demi menjadi saksi kunci. Walau akhirnya Maria meninggal dan Fahri tetap hidup bahagia bersama Aisha tanpa poligami.
Lantas di mana letak nilai keislamannya?
Honestly, and sorry to say, nilai keislaman film ini hanya terletak pada pakaian, latar, dan beberapa kutipan ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadist. Islam hanya menjadi kemasan yang membuat Ayat-Ayat Cinta tampil beda dari film drama lain, tapi dalam inti dan alur ceritanya nyaris sama.
Islam the way of life dan terbentuknya 'genre baru' dalam film Indonesia
Kesuksesan Ayat-Ayat Cinta, nggak bisa dipungkiri melahirkan film-film sejenis. Sebut saja Perempuan Berkalung Sorban, 3 Doa 3 Cinta, Ketika Cinta Bertasbih 1&2, Dalam Mihrab Cinta, Doa yang Mengancam, Emak Ingin Naik Haji, Di Bawah Lindungan Ka'bah, hingga Surga yang Tak Dirindukan.