Tidak apa-apa sesekali lelah dalam menggapai cita, tapi jangan pernah menyerah. Karena batas menyerah adalah ketika raga terkubur dalam tanah.
Sosok Alif Fikri, putra daerah Minangkabau yang memiliki cita-cita berpendidikan tinggi, pertama kali diperkenalkan dalam film Negeri 5 Menara yang rilis pada tahun 2012.
Film ini berhasil menduduki peringkat 4 film Indonesia terlaris di tahunnya dengan mengumpulkan lebih dari 700 ribu penonton. Hanya kalah dari Habibie & Ainun, 5CM, dan The Raid.
Selang 10 tahun dari rilis Negeri 5 Menara, kisah inspiratif Alif Fikri bisa kita saksikan dalam sekuelnya yang bertajuk Ranah 3 Warna. Di film arahan Guntur Soeharjanto ini, sosok Alif Fikri digambarkan sudah lulus pesantren (setara SMA), yang kemudian berkeinginan melanjutkan kuliah di Bandung. Dan juga ingin menjajal pendidikan lebih tinggi lagi di luar negeri.
Tapi, apakah perjuangan Alif berjalan dengan mulus saja?
Man jadda wajada x Man shabara dzhafira
Kalau kamu pembaca setia novelnya, kamu sudah barang tentu hafal dengan 'mantra' yang dipopulerkan oleh masing-masing novelnya. Mantra ini jugalah yang menjadi ruh keseluruhan filmnya.
Jika di Negeri 5 Menara kita akan sering mendengar teriakan Man jadda wajada, di sekuelnya ini mantra tersebut berganti menjadi Man shabara dzhafira. Yang artinya barang siapa yang bersabar, ia akan beruntung.
Saking menjadi mantra utama, film ini banyak menguji kesabaran Alif (Arbani Yasiz) yang selalu saja mendapat masalah di setiap kesempatan. Apapun masalah yang ia terima, kuncinya adalah dengan sabar. Dan masalah pun selesai. Kemudian timbul masalah baru, dan diselesaikan kembali dengan cara yang sama.
Saya sangat paham, film ingin sekali menyampaikan tentang keutamaan sabar kepada penontonnya. Tapi sebagai karya audio visual, pendekatan dengan terus mengulang-ngulang mantra secara verbal justru malah menguji kesabaran penonton.
Kita bisa belajar pada banyak film impor yang memulai filmnya dengan sebuah kutipan, tapi setelah itu kutipannya nggak pernah muncul lagi selama film berjalan. Tapi anehnya kita sebagai penonton bisa paham kalau filmnya sedang berbicara atau menceritakan tentang makna dan maksud dari kutipan tersebut.
Kalaupun kutipan tersebut muncul kembali, biasanya muncul di akhir film sebagai penegasan.