Tidak semua film superhero diperuntukkan untuk anak-anak. Sebagai orangtua, tentu kita wajib bijaksana dalam memilih dan memilah tontonan untuk anak-anak kita.
Lebih dari dua tahun lalu, saat film superhero Indonesia Gundala, rilis di bioskop, timeline facebook saya diributkan oleh status salah seorang teman. Ia curhat pengalaman kekecewaannya setelah menonton Gundala bersama anak kecilnya yang masih berusia di bawah 7 tahun.
Ia mengaku kecewa dengan isi dan cerita film Gundala yang katanya tidak ramah untuk anak-anak di bawah 7 tahun. Ia pun meminta sang sutradara untuk membuat film superhero yang ramah anak-anak. Dan ia menganggap bahwa film superhero memang seharusnya dibuat untuk anak-anak.
Tapi yang membuat saya terheran-heran adalah, ia sendiri mengetahui kalau rating usia Gundala adalah 13+ (untuk usia 13 tahun ke atas). Lantas kenapa ia masih nekat membawa anaknya menonton film yang tidak sesuai dengan peruntukkan usianya?
Satu permasalahan ini menimbulkan dua masalah unik yang bisa ditelisik lebih jauh.
Pertama, persoalan persepsi kalau film superhero haruslah film untuk anak-anak.
Kedua, persoalan budaya sensor mandiri yang nampaknya belum dipahami oleh sebagian masyarakat kita.
Cerita superhero yang 'grounded'
Nggak bisa dipungkiri, orangtua muda saat ini sebagian besar dihuni oleh generasi 90-an yang masa kecilnya cukup banyak dicekoki tayangan televisi superhero. Pada masa itu cerita superhero memang cukup membumi dan sederhana.
Secara garis besar cerita dari tayangan superhero menunjukkan aksi kepahlawanan membantu sesama manusia. Sebagian manusia yang ditakdirkan memiliki kekuatan super, membantu sebagian manusia lain yang mungkin ditimpa kejahatan tapi tak cukup kuat untuk melawan atau melindungi diri.
Dari produk luar kita bisa berkaca pada sosok Jiban, Jiraiya, Power Ranger, hingga Ultraman yang menyajikan cerita sederhana seperti premis yang saya sebutkan di atas. Ada sekelompok orang jahat mengganggu manusia dan bumi, lalu kemudian muncul superhero untuk melawan kejahatan tersebut.