Lihat ke Halaman Asli

Raja Lubis

TERVERIFIKASI

Pekerja Teks Komersial

Review The Music of Silence: Nggak Sekadar Perjalanan Musik, Tapi Juga Perjalanan Spiritual

Diperbarui: 20 Mei 2020   14:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Alternative poster The Music of Silence / Cinemags

"Mama bantu aku, kemana perginya matahari? Aku tak bisa melihatnya." ucap seorang remaja 12 tahun ketika menyadari kebutaannya.

Barangkali itu adalah salah satu ungkapan yang puitis ketika seseorang hanya melihat kegelapan. Ungkapan itu menjadi lebih dramatis tatkala divisualkan dengan adegan dan tata musik yang menyentuh.

Film The Music of Silence membuat adegan itu menjadi nyata. Alkisah seorang bayi laki-laki lahir dan diberi nama Amos Bardi. Lima bulan setelahnya, kedua orangtuanya baru menyadari jika bayi yang sangat disayanginya tersebut menderita Congenital Glaucoma yang menyebabkan gangguan penglihatan. Ia nggak sepenuhnya buta, masih bisa melihat sesuatu di sekitarnya.

Namun, gangguan penglihatannya semakin parah tatkala matanya terkena tendangan bola saat bermain dengan teman-temannya. Hidupnya pun berubah seketika!
Bicara kecerdasan musikal

Umumnya orang akan mengasosiakan kecerdasan dengan keberhasilan nilai akademik di sekolah. Padahal menurut psikolog terkenal Harvard University, Prof Howard Gardner dalam bukunya Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences pada tahun 1983, mengurai delapan jenis kecerdasan.

Salah satunya adalah kecerdasan musikal, suatu kecerdasan yang berhubungan dengan musik dan mampu menerima musik/pola-pola nada sebagai bahasa kehidupan sehari-hari.

Ketika usianya tiga tahun, kedua orangtua Amos Bardi memutuskan untuk mengoperasi matanya Amos sesuai saran dokter yang ia temui ketika Amos Bardi berusia lima bulan. Di suatu adegan, Amos Bardi tak sabar ingin membuka perban yang membungkus matanya, tetapi dicegah oleh ibunya.

Sebagai upaya untuk menenangkan sang buah hati, ibunya memberikan sebuah boneka. Namun, boneka itu dilempar oleh Amos Bardi. Dan ia lebih memilih mendekatkan pendengarannya ke dinding kamar. Di saat itulah ia mendengarkan alunan musik dari kamar sebelah yang membuatnya lebih tenang.

Sang sutradara menunjukkan awal mula kecintaan Amos Bardi terhadap musik dengan adegan yang cukup surealis dan penuh filosopi.

Dihiasi Dialog-Dialog Filosopis

Film yang adaptasi dari novel karangan Andrea Bocelli (yang sesungguhnya Amos Bardi dalam film ini), kerap kali dihiasi dialog-dialog filosopis. Saya menonton film ini di Mola TV Movies.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline