Setiap pencobaan, godaan, maupun ujian, senantiasa menggiring kita untuk membuat sebuah pilihan. Saat itulah ada dua pihak yang sedang mengamati hati dan pikiran kita. Pihak yang satu, yaitu Allah, berharap kita dapat mengatasi pencobaan itu, dan ingin agar kedewasaan iman kita semakin bertumbuh kuat melaluinya, sedangkan pihak yang lain, yaitu Iblis, sangat mengharapkan kejatuhan serta memakan buah kegagalan kita akibat pencobaan itu, yaitu dosa; sebab ia tahu bahwa apabila kita melakukan dosa atau sesuatu yang tidak diperkenankan Allah, perlahan-lahan kita akan mengalami kemunduran iman akibat rasa bersalah dan tidak layak yang terus menghantui pikiran dan hati kita. Dosa itu sendiri akan terus menarik kita keluar dari rencana Allah.
Ada dua perspektif mengenai pencobaan yang perlu senantiasa kita ingat. Tatkala kita masih terus berada dalam ancaman pencobaan, itu berarti Iblis senantiasa menganggap kita sebagai musuh yang harus dijatuhkan. Dari perspektif Allah, pada saat kita dicobai, Dia mengizinkannya karena menganggap bahwa kita sanggup mengatasinya. Akan tetapi, dari perspektif manusia, acap kali kita tidak mengetahui cara mengatasi pencobaan yang kita hadapi. Yesus dicobai setelah Dia berpuasa 40 hari 40 malam. Sesudah masa itu tentunya ia merasa sangat kelaparan. Oleh sebab itu, pencobaan pertama yang ditawarkan oleh Iblis adalah, "Jika Engkau Anak Allah, perintahkanlah supaya batu-batu ini menjadi roti," (Matius 4:3). Yesus berada dalam keadaan yang sangat lapar dan ingin sekali makan, serta si penggoda menawarkan apa yang menjadi kebutuhan-Nya saat itu.
Pelajaran pertama: godaan sering kali masuk ke dalam kehidupan kita dari pintu yang bernama kebutuhan.
Godaan dapat masuk melalui pintu kebutuhan dan si Jahat akan menawarkan bantuannya untuk memenuhi kebutuhan itu dengan caranya yang jahat dan tidak seturut dengan kehendak Allah. Masalah terjadi apabila kita menuruti hawa nafsu yang timbul akibat keinginan kita yang telah dipengaruhi Iblis untuk memenuhi kebutuhan itu dengan cara yang ditawarkannya. Anehnya, pencobaan itu pada awalnya terasa sangat menggoda dan menyenangkan. Tetapi, setelah kita memuaskan hasrat kita, seketika itu juga kita dihujani oleh berbagai perasaan bersalah, tidak layak dihadapan Allah, tidak kudus, jahat, najis, dan semua dakwaan yang membuat kita sangat depresi. Perasaan-perasaan itu tidak mudah hilang dari hati kita. Kemudian ada dua jenis reaksi yang akan kita lakukan setelah semua itu terjadi. Yang pertama adalah setelah kita merasa bersalah, kita menyesalinya dan meninggalkan perbuatan jahat kita. Sebaliknya, reaksi yang kedua, yang bertentangan dengan reaksi pertama adalah semakin dalam menceburkan diri dalam dosa karena merasa kepalang basah, seolah-olah tidak dapat keluar lagi dari semua kesalahan kita. Reaksi yang kedua ini membuat kita makin jauh dari kehendak dan rencana Allah, kemudian antrean masalah serta pergumulan menanti di depan kita. Hati-hatilah, godaan selalu menyentuh titik kebutuhan kita. Apabila kita sakit, godaan itu dapat muncul dalam bentuk tawaran kesembuhan. Dalam kondisi kesulitan keuangan, kita akan dicobai untuk memenuhi kebutuhan itu. Ketika kita merasa marah, Iblis menawarkan cara yang seolah-olah baik untuk menuntaskannya, padahal cara itu tidak diperkenan Allah.
Bagaimana kita dapat menang mengatasi godaan dan pencobaan yang masuk ke dalam hidup kita melalui pintu kebutuhan? Apakah kita harus menekan dan mengekang kebutuhan kita? Tidak mungkin. Kita memiliki kebutuhan yang sangat banyak dan sesungguhnya tidak ada yang salah dengan kebutuhan kita; yang salah adalah cara yang ditawarkan Iblis untuk memenuhi kebutuhan itu. Mari kita perhatikan pencobaan yang dialami Yesus sekali lagi. Setiap kali Iblis menawari-Nya sesuatu, Dia selalu berkata, "Ada tertulis: ...."Dia selalu menanggapi godaan Iblis dengan memperkatakan firman Allah. Dia tidak menanggapinya dengan perkataan-Nya sendiri, mempertanyakan pencobaan itu, atau berpikir panjang dahulu. Dia tidak menunda untuk menjawabnya dengan firman karena Dia tahu bahwa semakin lama pencobaan itu berada dalam pikiran dan pertimbangan kita, maka semakin besar kemungkinan kita untuk jatuh ke dalamnya. Oleh sebab itu, apa yang Yesus lakukan dalam meresponi pencobaan Iblis adalah teladan yang patut kita contoh. Jangan biarkan diri kita menimbang-nimbang dan memberi celah sehingga pencobaan itu bertahan cukup lama dalam pikiran kita untuk siap menjatuhkan kita. Segera respons dengan memperkatakan firman-Nya, niscaya Anda akan terhindar dari kejatuhan ke dalam dosa.
Pelajaran kedua: kekuatan untuk menghadapi godaan bukanlah berasal dari kecerdasan, hikmat, maupun kekayaan kita; melainkan kuasa yang berasal dari firman yang kita katakan secara langsung kepada si penggoda.
Akan tetapi, kita kembali diperhadapkan dengan masalah baru: apakah kita dekat dengan firman Allah? Tidak sedikit orang yang mengalami kesulitan untuk membaca Alkitab secara rutin, padahal mereka adalah orang-orang yang rutin membaca surat kabar, atau mengikuti perkembangan saham dan nilai tukar rupiah. Satu-satunya senjata ampuh untuk menjatuhkan si penggoda adalah firman Allah. Kekuatan kita terletak pada kemampuan kita untuk memperkatakan firman-Nya yang kita baca, pelajari, hafalkan, dan hidupi. Firman Allah berkata, "terimalah ketopong keselamatan dan pedang Roh, yaitu firman Allah," (Efesus 6:13). Apabila kehidupan kita jauh dari firman Allah, kita pun tidak memiliki senjata apa pun untuk menghadapi pencobaan. Padahal, jika kita menengok kisah pencobaan yang dialami Yesus, kita mendapati bahwa Iblis pun memahami firman Allah. Bukankah ini aneh? Kita yang mengaku sebagai anak Allah tidak hafal firman Bapanya, tetapi Iblis yang adalah musuh Allah justru hafal firman-Nya. Oleh sebab itu, kebutuhan untuk dekat dengan firman-Nya adalah keharusan mutlak untuk melawan godaan Iblis.
Ketika kita memperkatakan firman secara nyata sehingga telinga kita pun dapat mendengarnya, secara tak disadari kita mengundang hadirat Allah masuk ke dalam hati kita, menguasainya, dan membentengi kita dari godaan yang menyerang kita. Tanpa firman Allah, kita akan terperosok ke dalam kubangan dosa dengan mudah, dan dengan mudah pula kita dipenuhi perasaan bersalah. Ketika kita dipenuhi dengan rasa bersalah, yang kita lakukan selanjutnya adalah berjuang untuk menutupi perbuatan kita agar tidak diketahui orang lain. Dan, pada saat itulah Iblis tersenyum puas melihat perbuatannya berhasil, sementara Bapa di surga memandang kita dengan bercucuran air mata, kecewa dan terluka karena kekalahan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H