Jika berbicara soal politik, maka hal paling umum yang dipikirkan orang-orang adalah soal manipulasi, persaingan, konflik hingga perebutan kekuasaan. Tak terkecuali Gen Z sebagai generasi muda saat ini, yang terkesan tidak terlalu tertarik atau bahkan menghindari pembahasan dan partisipasi politik. Sebenarnya, kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pandangan acuh Gen Z pada politik tersebut. Hal ini disebabkan karena fenomena Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang terus melekat dan menjamur di berbagai instansi dan tingkat pemerintahan saat ini menjadi dasar pemikiran mereka itu. Bukan hanya Gen Z saja yang terkesan acuh pada politik di Indonesia saat ini, namun generasi milenial atau yang di atasnya juga cenderung pasrah akan dinamisme politik saat ini. Kondisi memprihatinkan ini dapat kita lihat pada proses Pemilihan Umum (Pemilu) di berbagai tingkat, baik walikota/bupati, gubernur atau presiden. Beberapa diantaranya bahkan benar-benar tidak tahu soal siapa kandidatnya, atau visi-misi dan janji-janjinya.
Bisa dibilang, stigma negatif soal politik yang telah muncul sejak lama semakin berkembang dimata Gen Z. Banyak Gen Z yang melihat bahwa partisipasi politik hanya hal yang sia-sia saja, atau bahkan membahayakan hidup dan karir mereka. Bahkan sejak peristiwa reformasi yang meruntuhkan orde baru, rezim yang dianggap paling buruk di Indonesia, namun berbagai masalah klasik soal KKN, penyelewengan kekuasaan dan manipulasi politik tidak pernah berubah. Pemilu tidak jauh berbeda seperti ajang sirkus saja, dimana sistem pemerintahan tidak pernah diharapkan menjadi penolong masyarakat saat ini. Keinginan dan harapan Gen Z untuk pindah negara pun sempat viral di berbagai platform media sosial. Lantas, apakah langkah tersebut sudah tepat?
Sejatinya, Indonesia adalah negara yang menganut demokrasi sebagai sistem pemerintahannya. Sehingga kedaulatan sepenuhnya berada di tangan rakyat, bukan presiden, DPR, MK dan sebagainya. Maka, kurang tepat jika kita sebagai Gen Z berusaha untuk abai pada politik karena banyaknya masalah dalam penerapan sistem tersebut. Justru, ini adalah saat dimana Gen Z harus mulai mengambil peran dalam menggantikan generasi sebelumnya, dan melakukan reformasi secara menyeluruh di segala lini politik dan pemerintahan. Indonesia sendiri akan mengalami bonus demografi kedepannya, dimana generasi mudanya lebih banyak dibanding generasi tua, maka peran dari Gen Z harus dimulai sejak sekarang. Terutama para mahasiswa sebagai golongan akademisi dan pemikir, yang secara teori memiliki pengetahuan lebih baik, dan akan lebih baik jika bisa mulai mengambil peran secara langsung.
Tentu ini sulit. Banyak kalangan idealis yang terbentur oleh masalah finansial, dukungan dan sosial. Namun, perjuangan memang pada dasarnya tidak pernah mudah. Ketika kita memutuskan untuk terjun ke politik saja itu sudah susah, maka akan lebih susah jika kita bertekad untuk membawa perubahan-perubahan di sistem dan berbagai instansinya. Perlu diingat, jika Gen Z sebagai generasi paling up to date saja tidak melek politik, maka akan semakin buruk pengetahuan politik generasi di atasnya. Maka kedepannya potensi manipulasi politik kepada masyarakat akan semakin besar.
Sistem Pemilu di Indonesia yang bersifat demokrasi dan dijalankan secara langsung membuat partisipasi dan pengetahuan politik bagi Gen Z adalah keharusan. Selain itu, tidak seperti sistem pemilihan presiden di Amerika Serikat, dimana poin suara pemilihan ditentukan bukan oleh suara dari masyarakat, namun oleh electoral college. Sehingga untuk memenangkan pemilihan dibutuhkan 270 suara elektoral, bukan suara mayoritas dari masyarakat. Sementara di Indonesia diterapkan sistem one man one vote, maka suara dari setiap orang sangat berpengaruh. Jika Gen Z acuh dan tidak berperan dan berpartisipasi pada politik, maka suara-suara itu bisa dimanfaatkan untuk kepentingan buruk. Kecurangan politik seperti sogokan dan money campaign dalam Pemilu juga akan semakin marak dan tak terkendali.
Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan partai politik mengambil peran sentral dalam mengatasi hal ini. Pemerintah, harus bisa memperbaiki berbagai permasalahan di tubuhnya dan dalam sistem politik negara. Dengan perubahan dan perbaikan tersebut, akan mendorong Gen Z dan masyarakat lainnya untuk mulai aktif berpartisipasi dan berperan dalam politik lagi. Karena pada akhirnya, segala teori dan kata-kata yang dijelaskan pada mereka harus didukung oleh bukti nyata perubahan, dan membuktikan stigma itu salah. Sementara itu, untuk partai politik sendiri, dengan salah satu fungsinya, yaitu pendidikan politik, maka tugas dan tanggung jawab soal partisipasi politik masyarakat, khususnya Gen Z ada di tangan mereka. Untuk menjalankan fungsinya sebagai pendidikan politik bagi masyarakat, partai politik harus menunjukkan identitas demokrasi mereka terlebih dahulu. Karena saat ini banyak partai politik yang justru tidak memiliki identitas demokrasi, dan bergerak seperti perusahaan dan monarki, demi keuntungan dan kekuasaannya diturunkan lewat garis keturunan. Selain itu, partai politik juga harus menawarkan gagasan dan ideologi yang jelas dan kuat, tidak berubah-ubah demi kursi koalisi dan menteri saja. Fenomena ketidakjelasan spektrum ideologi dan identitas partai politik semakin marak, dimana koalisi dan kebijakan ditujukan hanya lewat pertimbangan kekuasan saja. Tentu untuk menarik minat Gen Z dalam partisipasi politik, maka partai harus bisa mem-branding diri mereka dengan lebih baik dan elegan. Apalagi sejatinya para pejabat di puncak kekuasaan, baik di tingkat negara, provinsi hingga kabupaten/kota adalah para anggota partai politik. Sehingga, secara langsung partai politik ikut bertanggung jawab atas tindakan dan perlakuan para pejabat yang merupakan anggota partai.
Partisipasi Gen Z dalam politik adalah kebutuhan dan keharusan. Disatu sisi, Gen Z akan segera mengambil alih jumlah mayoritas penduduk negeri ini dan akan tumbuh menjadi orang dewasa nantinya. Dengan ikut belajar, berpartisipasi sekaligus berperan dalam bidang politik, maka Gen Z akan ikut membantu menjaga masa depannya. Karena pemilihan pemimpin di masa depan akan ditentukan oleh Gen Z, maka berpartisipasi dalam politik akan membantu Indonesia menemukan pemimpin terbaiknya. Gen Z juga bisa mengubah stigma politik dari yang identik dan penuh dengan kebencian, dan persaingan/konflik menjadi sesuatu yang lebih baik untuk pembangunan negara. Karena di masa berikutnya, dan seterusnya generasi muda akan selalu menjadi generasi yang paling menentukan dalam pembangunan bangsa dan negara tercinta kita, NKRI. Semoga pada tahun 2024 dan seterusnya, partisipasi dan peran politik Gen Z bisa terus meningkat dan terus dilestarikan oleh generasi muda berikutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H