Lihat ke Halaman Asli

Marni Ingin Jadi Orang Kaya

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Marni telah bertekad untuk bisa merubah kehidupannya dan juga keluarganya sekarang. Cita-cita yang selalu ia sampaikan ke dalam hatinya adalah ia harus menjadi orang kaya! Bukan menjadi orang yang sama miskinnya seperti kedua orangtuanya, dan kemiskinan itu merupakan warisan dari Kakek dan Nenek, kedua orangtua dari Bapak dan Emak Dan Marni merasa harus menghentikan warisan itu sampai kepadanya. Maka ia bercita-cita untuk menjadi orang kaya dan bertekad akan mencapainya.

“Jadi orang kaya itu enak, Jah!” kata Marni kepada Ijah, sahabatnya, setiap saat. Sementara Ijah hanya menggut-manggut tanpa bisa membantah. Kata ‘Kaya’ atau “Orang Berduit’ masih asing dalam benak Ijah, yang dalam kehidupan yang ia jalani hanya apa yang adanya tanpa menuntut lebih. Cita-cita setinggi langit tidak pernah didengungkan oleh kedua orangutan Ijah, selain kata-kata yang menuntut Ijah untuk menjadi orang yang selalu bersyukur.

Lalu kata Marni lagi kepada Ijah, “Kita bisa punya rumah mewah yang ukurannya 20 sampai 50 kali lipat besarnya dari rumah kita sekarang, Jah! Kita juga bisa punya mobil lebih dari 1 kalau kita mau. Dan kalau mau liburan, perginya ke bali atau keluar negeri, terus menginapnya di hotel yang paling mahal tarifnya.”

“O-oh..begitu ya?”

“Iyalah! Kita bisa melanjutkan sekolah lagi, Jah! Gak cuma sampe SMP seperti sekarang. Terus lagi, kita pastinya akan selalu memakai pakaian yang serbamahal dan bagus-bagus!”

“O-oh. Orang kaya itu pakaiannya harus bagus-bagus dan mahal-mahal yah?”

“Ya iyalah! Harga satu pakaiannya saja bisa lebih dari lima juta!!”

“Hah?! Lima juta?!”

“Iya, beneran! Bahkan bisa sampe puluhan juta, Jah!”

“Puluhan juta?!!”

“Hebat kan?”

Ijah menggerakan jari tangannya untuk menghitung.”Kalau uang puluhan juta itu dipakai buat beli baju untuk aku sekeluarga lebaran, bisa buat berapa kali lebaran ya, Mar?”

“Ratusan!”

“Ratusan?!”

“Iya. Ratusan kali!”

“Masa Allah.. tapi kok mereka pada pelit ngasih ke orang miskin kayak kita yah?”

“Hush!!”

“Ya seharusnya daripada buat beli baju yang mahal seperti itu, kenapa uangnya gak buat bantu kita-kita biar bisa sekolah lagi dan jadi orang kaya seperti mereka. Terus kita juga jadi bisa bantu orang miskin seperti kita untuk bisa menjadi orang kaya dan seterusnya. “

“Ngaco kamu!”

“Lho, kalau memang bisa begitu kan, itu juga berarti orang miskin di negeri ini akan bisa habis, Mar.”

“Orang kaya itu harus pelit taauu..!!”

“O-oh..pantess..”

Dan untuk mewujudkan cita-citanya itu, Marni akhirnya mau diajak bekerja sebagai pembantu pada seorang kayayang terpandang di kota. Sedang Ijah menetap di kampung meski Marni mengajaknya, karena alasan takut.

“Kamu bilang orang kaya itu pelit, Mar. Makanya aku gak mau ikut kamu kerja sama orang kaya yang pelit-pelit itu,” kata Ijah menjelaskan alasannya. Mendengar hal itu, Marni hanya bisa menggelengkan kepala prihatin.

Marni telah bertekad untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya agar cita-cita untuk menjadi orang kaya itu tercapai. Setiap saat, ketika ada uang berlebih atau saat waktu gajian telah diterimanya, Marni selalu menyimpan uang itu. Dia begitu antusias bahwa cita-citanya pasti akan tercapai. Bukankah menabung itu pangkal kaya? Marni selalu menghitung uang yang selalu bertambah banyak itu, lalu mendekap erat-erat dalam pelukan dan menciumnya sebagai tanda cinta.

Sampai suatu hari, ketika majikan perempuannya mendapat hadiah—sebuah mobil mewah dari majikan lelakinya seharga delapan ratus juta—untuk merayakan hari pernikahan mereka berdua, Marni terkesiap mendengar harga mobil itu disebutkan, lalu membandingkan dengan jumlah uang yang ia simpan selama ini. Jauh, sangat jauh sama perbandingannya. Seketika semangat Marni mengendur. Dalam hati dan pikirannya mulai tumbuh keraguan atas usahanya. Bagaimanapun hemat dan rajin dirinya menabung, uang yang ia miliki tidak akan pernah bisa sebanyak seperti yang dimiliki majikannya. Seandainya bisa pun, mungkin marni harus menabung hingga ia tua renta dan akhirnya tetap tidak bisa menikmati hasilnya.

Setan melintas sambil terkekeh melihat kegalauan Marni. Ini adalah saat-saat yang paling tepat baginya untuk menjerumuskan hamba-hamba Tuhan. Dibisikannya jalan-jalan yang paling mudah dan mungkin untuk Marni lakukan agar keinginannya menjadi orang kaya lebih cepat tercapai. Dan sepertinya berhasil!

Akhirnya, ketika tuan majikan yang seringkali gagal ketika mencoba menodai dirinya, pada suatu malam saat tuan majikan kembali mencobanya, Marni mengajukan persyaratan,”Baiklah, Tuan.. jika memang tuan menginginkan tubuh saya. Tuan harus menyetujui permintaan saya dulu.”

Tuan majikan tertawa,”Apa yang kau inginkan Marni? Uang? Mobil? Atau Rumah mewah, mungkin?!” Tawaran yang sangat menggiurkan, persis seperti yang Marni inginkan. Meski Marni sendiri kurang mengerti, mengapa tuannya begitu ngotot menginginkan untuk meniduri dirinya sedang Nyonya majikan begitu cantik lagi anggun. Atau jika memang dia menginginkannya, Tuan majikan bisa mendapatkan perempuan yang jauh lebih cantik dari Marni. Hal itu sempat ditanyakan Marni setelah akhirnya kesucian itu diserahkan kepada majikannya itu. Jawaban tuan majikan saat itu,”Sensasinya Marni! Sensasinya! Aku butuh sensasi dalam hidup ini. Butuh melakukan hal-hal seperti tengah berpetualang dengan banyak resiko. Kadang aku merasa bosan dengan kehidupanku yang sekarang!”

Selang 7 bulan, ketika semua persyaratan majikan telah dipenuhi. Marni keluar dari rumah majikannya itu dan menjadi perempuan simpanan tuan majikan. Dan ia telah benar-benar menjadi orang yang memiliki uang yang berpuluh-puluh kali lipat dari yang ia miliki sebelumnya.. Menetap di sebuah rumah mewah di sebuah kawasan elit kota. Dan Marni tidak perlu lagi repot ketika harus berpergian, Tuan majikan juga telah memberikannya sebuah mobil mewah. Marni senang. Marni puas. Marni bahagia. Tapi benarkah demikian?

Suatu saat ketika Marni mulai merasa kesepian, setan kembali melintas dan membisikan kepada Marni akan langkah selanjutnya yang bisa ia lakukan agar cita-cita dan kebahagiaan hidupnya menjadi lebih sempurna. Marni menerima dengan baik bisikan itu. Hinga pada suatu hari, ketika tuan majikannya datang, Marni menuntut agar sang tuan segera menikahinya secara resmi dan mencantumkan namanya dalam surat warisan. Betapa marahnya sang tuan saat mendengar hal itu.

Tak pernah terpikirkan oleh Marni sebelumnya, jika pada akhirnya malam itu juga, sang tuan yang marah mengusir Marni dari rumah yang ia tinggali sekarang. Semua fasilitas yang pernah diberikan telah diambil paksa kembali oleh sang majikan. Marni sedih. Marni bingung. Marni marah dan menyimpan dendam. Kembali, pada saat-saat seperti itu, setan membisikan kepada Marni akan hal yang bisa ia lakukan untuk melampiaskan semua rasa sakit yang ia rasa saat itu.

Marni mengancam tuan majikan, bahwa ia akan membeberkan apa yang selama ini terjadi antara dirinya dan sang tuan kepada Nyonya majikan. Sesaat Sang tuan majikan nampak gentar. Tapi setan ternyata lebih berpihak kepadanya untuk menghancurkan Marni. Dengan segala bujuk rayunya, Sang Tuan majikan mengajak Marni pergi ke sebuah tempat, rumah teman majikan. Dan sejak malam itu, kehidupan Marni jauh sama sekali dari cita-citanya. Tanpa sepengetahuan Marni, Tuan majikan meninggalkan Marni sendirian di rumah itu untuk diperkosa beramai-ramai, sambil dipukul, ditendang dan juga dirusak wajahnya. Mereka juga menyekap Marni selama hampir sebulan lamanya tanpa makan dan minum yang cukup, juga dipaksa untuk meladeni mereka hampir setiap malam secara bergantian. Hati Marni remuk, hancur. Hati Marni merasakan sakit berpuluh kali lipat. Hati Marni putus asa.

Setelah itu, Mereka menjual Marni kepada seorang Germo yang tinggal di sebuah pulau yang jauh dari kota. Sejak itulah Marni menjalani kehidupan sebagai seorang pelacur tanpa pernah mendapat imbalan yang pantas. Cita-citanya kandas. Setan tertawa senang melihat kehancuran itu. Marni hanya bisa mengingat percakapannya dengan Ijah dulu. Dan teringat akan surat terakhir yang dikirimkan Ijah untuknya. Dalam surat itu Ijah bercerita, bahwa ia telah salah menilai orang kaya itu setelah ia mengikuti jejak Marni untuk bekerja menjadi pembantu, bahwa tidak semua orang kaya itu pelit. Ijah telah menikah sekarang, dan memiliki dua orang anak. Ia menikah dengan supir majikannya, lalu dibekali uang oleh majikannya untuk modal mereka membuka usaha setelah menikah. Ijah bahagia sekarang, meski tidak memiliki uang yang banyak, tidak memiliki rumah yang besar seperti yang dikatakan Marni, dan juga tidak memiliki mobil. Kata Ijah, tidak apa-apa kalau tidak bisa menjadi orang kaya. Yang penting kita selalu bisa untuk bersyukur dan berpikiran positif sama orang lain. Marni sedih. Marni menyesal. Marni menangis.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline