Lihat ke Halaman Asli

Piagam Madinah, Konstitusi yang Terlupakan

Diperbarui: 17 Juni 2015   23:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Warna-warni keberagamaan masyarakat Indonesia yang khas, akhir-akhir ini tengah menghadapi gugatan dengan kehadiran Islam Trans-nasional melalui ide radikalnya yang kerap membabi buta, serta merusak sendi-sendi kehidupan Bangsa dan Negara. Mereka datang berduyun-duyun dari daerah yang cukup jauh dengan membawa atribut, bendera, dan simbol-simbol keislaman. Berteriak lantang seakan-akan ingin merobek hasil tenunan Bendera Merah Putih yang dibatik dengan lumuran darah keberanian, yang dirajut dengan tali kebhinekaan suku, adat, keyakinan, agama yang sangat unik. Yang setiap benangnya menghasilkan warna tersendiri,  lalu persimpulannya yang erat menghasilkan kekuatan. Dan perajutan tenun ini pun masih belum selesai, ada dalam proses penyelesaian. Tapi entah kenapa, meraka tiba-tiba datang dengan dalih pemurnian, ingin merobeknya?. Bahkan, andai bisa akan membredel bendera ini, lalu menggantinya dengan bendera ala-mereka, yaitu Bendera yang mengibarkan “Lailaha illa Allah, Muhammad Rasulullah”.

Menurutnya, pemahaman keagamaan mayoritas umat Islam Indonesia dinilai kehilangan otentisitas. Karena berbeda dengan Islam yang ideal yaitu Islam yang dicontohkan oleh salaf al-shalih. Keunikan ekspresi keberislaman masyarakat Indonesia dicerca sebagai ”kejahiliyahan modern” yang jauh dari Islam yang otentik. Otentisitas Islam hilang ketika ia telah dicampuri oleh unsur politik demokrasi yang sekuler. Islam Indonesia kehilangan nilai keasliannya semenjak ia mengakomodasi dan beralkulturasi dengan budaya dan sistem sosial politik lokal. Oleh karena itu, Islam Indonesia harus kembali kepada nilai-nilai puritanisasi dan pemurnian.  Sistem tersebut menurut mereka perlu diruntuhkan untuk diganti dengan sistem “Daulah Islamiyah” yaitu sebuah sistem pemerintahan yang berdasarkan superioritas dan tekstualitas Islam. Dari ide ini, lalu muncullah  gerakan massa ormas Islam seperti IM (Ikhwanul Muslimin), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Laskar Jihad, Front Pembela Islam (FPI). Dan yang paling parah lagi, Indonesia baru-baru ini kedatangan tamu baru yaitu ISIS (Islamic State Irak and Syiria) yang secara terang-terangan mereka sering melakukan kekerasan atas nama agama.

Nah, berawal dari  kekaburan doktrin-doktrin diatas, tak ada salahnya kalau kita kembali membaca historis perjalanan Rasulullah dalam kepiawaiannya menata kota Madinah, sehingga menghasilkan diktum konvensi “Piagam Madinah”. Ibn Hisyam al-Anshari dalam kitab Sirah an-Nabawiyah menjelaskan: “Orang Islam suku Quraisy (Muhajirin), dan orang Islam Pribumi (Anshar), orang Yahudi bani Auf, dan pengikutnya, serta yang berjuang dengannya, sesungguhnya mereka adalah satu Ummat”. Statemen diatas ini yang merupakan cikal bakal akan munculnya sebuah perjanjian formal antara Nabi dengan beberapa suku Yatsrib, dimana perjanjian itu terkodifikasi dengan istilah Piagam Madinah (The Madinah Charter) yaitu sebuah dukumen perundang-undangan (konstitusi) yang mengatur prihal kehidupan penduduk Madinah secara univesal. Dukumen tersebut di susun sejelas-jelasnya sebagai kesepakatan hidup rukun dengan orang orang Yahudi secara berdampingan untuk mempertahankan tanah air, yaitu Madinah.

Ada satu dari beberapa isi Piagam Madinah yang paling penting untuk kita refleksikan bersama, yaitu: “ Orang-orang Yahudi bani Auf bersama kaum muslimin adalah satu  ummat, bagi kaum Yahudi dan kaum muslimin harus menjalankan agamanya masing-masing sesuai dengan yang diyakininya, serta tidak halal bagi mereka melakukan pertumpahan darah”. Kesepakatan ini, sepertinya bisa mewakili dari beberapa isi Piagam Madinah secara keseluruhan. Dalam arti, toleransi yang ditanamkan Nabi dalam mengatasi keberagaman dan perbedaan, patut untuk diteladani. Beliau sebagai tampuk pemerintahan tidak serta-merta membongkar tradisi budaya lokal, serta perbedaan keyakinan, untuk dipaksa ikut seperti halnya ala beliau. Akan tetapi, beliau lebih toleran dan bijak mengatur hak-hak dan kewajiban bagi keduanya  untuk saling rukun berdampingan tanpa merombak budaya. Dengan kata lain, Nabi lebih memprioritaskan kemauan rakyat yang berkehendak untuk bebas dari dominasi apa pun. Artinya, Nabi lebih mementingkan hak-hak mereka berdasarkan pada persetujuan, kesepakatan, atau perjanjian di antara mereka sendiri. Secara kelembagaan, kebijakan beliau ini adalah merupakan  wujud (manifestasi) dari demokrasi, di mana rakyat memerintah dirinya sendiri (self-rule). Sehingga, tak ada lagi pertumpahan darah, perseteruan, perpecahan, mereka bersatu dalam satu naungan, dan satu kesatuan (Ummah al-Wahidah) dibawah payung Kota Madinah.

Sama halnya dengan Pembentukan Piagam Madinah, adalah Piagam Jakarta (The Jakarta Charter). Sembilan tokoh bergabung dalam Panita sembilan yang terdiri dari latar belakang yang berbeda, mereka bersepakat menandatangani sebuah konstitusi sejarah berupa kompromi antara pihak Islam dan non-islam, untuk menjembatani perbedaan agama dan Negara, demi mencapai Indonesia yang dicita-citakan bersama yaitu Merdeka. Serta pembentukan Pancasila menjadi dasar Negara, sebagai alat pemersatu Bangsa. Keputusan bersama ini merupakan bukti demoratisasi untuk menyatukan keberagaman ras, suku dan agama yang ada di Negeri ini, demi mencapai Negara yang di impikan, yaitu Negara yang menebarkan cinta dan kedamaian (Darus-salam) bukan Darul Islam.

Konsitusi Madinah telah tercermin dalam konstitusi Indonesia, bahwa Nabi  mendirikan Negara Madinah tidak melebelkan “Negara Islam”, tetapi bersifat umum dan berdasarkan atas kesepakatan masyarakat “kontrak social”.  Hubungan agama dan negara diletakkan sebagai relasi yang kuat dan resmi.  Pluralitas keagamaan dilihat sebagai keniscayaan yang harus dilindungi oleh negara. Hal ini juga tercermin dalam UUD 1945 yang mencamtukan sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Meletakkan agama sebagai sumber nilai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Meskipun negara tidak boleh mencampuri urusan internal umat beragama.

Oleh karena itu, pemerintahan yang ideal dalam Islam sebagaimana yang diakui secara universal, pada dasarnya bukan pemerintahan yang dibangun atas dasar tekstualitas dan primordialisme Islam. Akan tetapi, dibangun diatas dasar cita-cita bersama untuk menghindari kerusakan dan mencapai kemaslahatan bersama (Dar’u al- Mafasid Wa Jalb al-Mashalih). Atas dasar itu, Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa-nya mengatakan: “Allah akan menolong Negara yang berkeadilan meskipun diisi oleh non-muslim, dan tidak akan menolong Negara yang dzalim meskipun diisi oleh muslim”.

Negara Islam(i) Amanat, Maslahat, dan adil.

Kembali pada sejarah dimana Rasulullah berhasil membangun peradaban Kota Yatsrib dengan “Piagam Madinah”nya, dan demokratisasi Indonesia dengan “Piagam Jakarta”nya, sebenarnya tidak selayaknya bangsa ini dipaksa bahkan diperkosa dengan segala macam, untuk dijadikan Negara berasaskan Islam, karena pada hakikatnya tidak ada konsep yang disebut sebagai “Negara Islam” atau “Negara syariah”, seperti yang telah  digembor-gemborkan oleh Kelompok Radikalisme (Islam impor) saat ini, yang ada hanyalah Negara Islami. Yaitu Negara menggelorakan nilai-nilai etis dan moral yang bersumber dari Islam, dan pada gilirannya tidak berseberangan dengan nilai-nilai universal mengenai pemerintahan. Karena, pemerintahan hanyalah instrumen (wasilah, thariqah) untuk mencapai tujuan kemaslahatan dan keadilan, dan pada dasarnya Rasulullah tidak pernah menentukan jalan spesifik atau membatasi mengenai pemerintahan, selama jalan yang ditempuh tidak melanggar dari prinsip kemaslahatan, dan nilai-nilai Maqasid al-Syar’iyah (Hifdz al-Din, hifdz al -Nafs, hifdz al- Nasl, hifdz al-Irdl, hifdz al-Mal). Atas dasar itu, pemerintahan yang ideal harus berdasarkan kemaslahatan rakyat, bukan kepantingan elit semata, hal ini sarat dengan kaidah fikinya:“Tasharruf al-Imam ‘ala al-Raiyah Manutun bi al-Maslahah” (Kebijakan seorang pemimpin atas rakyatnya, harus berdasarkan kemaslahatan).

Maka dari itu, Islam pribumi (produk lokal) sama sekali tidak berambisi mengangkut budaya lokal arab untuk dicoba ditanam dibelahan bumi Indonesia. Islam Pribumi menyadari sepenuhnya universalisasi terhadap budaya Arab bukanlah tindakan yang bijaksana, justru akan berimplikasi pada hilangnya budaya lokal itu sendiri. Meminjam istilah Gus Dur: “Proses mengindentifikasikan diri dengan budaya Arab hanya akan menyebabkan tercabutnya penduduk Indonesia dari budayanya sendiri”. karena arabisasi belum tentu cocok dengan kebutuhan. Maka Islam pribumi berupya men-dialekti-kan ajaran-ajaran inti Islam kedalam budaya-budaya lokal Indonesia agar bersama sama membawa Indonesia dalam satu tujuan yaitu Ummatun Wahidah, dalam mempertahan NKRI.

*Penulis Adalah Tamatan Mumtaz ’14, sedang menyelesaikan studinya di Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Tribakti Kediri.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline