Lihat ke Halaman Asli

Tiga Tahap Eksistensi Soren Aabey Kierkegaard

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Latar Belakang dan Sikap Kritis Kierkegaard

Kierkegaard hidup antara tahun 1813 –1855. Ini berarti ia hidup dalam abad ke-19 di mana budaya intelektual sangat mewarnai kehidupan dan masyarakat berada dalam era teknokratik. Dalam kondisi dunia semacam ini, Kierkegaard membangun filsafat dan sikap kritisnya. Menurutnya, budaya intelektual dan masyarakat teknokratik yang diangung-agungkan saat itu menyimpan konsekuensi-konsekuensi negatif.

Salah satu konsekuensi negatif yang menjadi pusat perhatian Kierkegaard adalah kemampuan abstraksi.Artinya ada trend umum saat itu di mana kenyataan-kenyataan konkrit dilepaskan dari ciri-ciri khusus kekonkritannya untuk dilihat sifat-sifat umumnya. Dengan cara itu ditemukan hukum-hukum umum di balik kenyataan. Konsekuensinya semakin berlaku umum, semakin obyektiflah kualitas dan semakin obyektif berarti semakin benar.

Menurut Kierkegaard, cara pandang ini menyulut persoalan baru. Mengapa? Karena bagi dia, obyektifitas lebih kerap berarti disetujui umum. Ini berarti ukuran kebenaran adalah pendapat umum. Apa yang tidak sesuai dengan consensus umum berarti tidak obyektif dan tidak benar. Pada titik ini, menurut Kierkegaard, masyarakat jatuh dalam bahaya budaya massa yang kemudian dipengaruhi atau dipupuk oleh berkembangnya media massa yang dengan mudah, murah, dan efektif membentuk opini-opini publik. Ia menilai, budaya massa semacam ini pertama-tama berpengaruh negatif bagi moral manusia sebagai individu. Budaya massa mengakibatkan demoralisasi. Artinya, budaya massa cendrung menyeragamkan suara hati dan mengurangi tanggungjawab individu. Budaya massa sekaligus memiliki karakteristik publik. Pada hal figure publik adalah sesuatu yang kabur, garang. Ia adalah segala hal sekaligus bukan apapun juga. Ia adalah kekuatan yang paling berbahaya serentak sesuatu yang paling tak bermakna. Kierkegaard menegaskan, orang bisa saja bicara atas nama publik tapi publik itu tetap bukan sosok nyata siapapun. Publik itu identitas semu, konsep abstrak, tak berwajah dan tak bernama. Publik bukanlah suatu generasi, bangsa, paguyuban atau pun masyarakat karena dalam publik tidak ada seoang pun yang mempunyai komitmen sungguhan. Dalam masyarakat modern, kata Kierkegaard, wajah publik yang paling konkrit itu adalah pers.

Pengaruh negatif kedua dari budaya massa adalah menghilangkan interioritas individu sebagai subyek. Pengaruh budaya massa membuat orang tidak berani mengikuti suara hatinya sendiri. Kenyataan particular dan subyektif seakan-akan merupakan suatu anomaly. Tidak ikut trend umum adalah kebodohan. Maka, yang terpenting bagi individu adalah berusaha supaya pola pikir dan perilakunya sesuai dengan tuntutan umum. Konsekuensinya, orang menjadi dangkal. Hidup adalah rangkaian fakta-fakta belaka. Hidup adalah rangkaian peristiwa yang berserakan tanpa nilai dan makna. Padahal, seharusnya hidup adalah sebuah perjalanan nilai, rangkaian keputusan dan komitmen pribadi pada nilai-nilai yang semakin tinggi. Hidup adalah sebuah tugas.

Pengaruh negatif ketiga dari budaya massa adalah berubahnya pola berkumpul individu dari pola kekeluargaan ke pola asosiasi. Bagi Kierkegaard, asosiasi yang terdiri dari individu-individu yang lemah dan tak berkepribadian itu menjijikkan bagai perkawinan anak di bawah usia.

Pengaruh negatif keempat dari budaya massa adalah berubahnya hakekat heroisme. Mengapa? Karena dalam budaya intelektual, tidak ada tempat untuk passi (gairah, nafsu). Tidak ada tempat untuk keberanian dan antuasiasme moral. Semua itu diganti oleh ketrampilan atau skill. Orang sering kagum terhadap tokoh yang berketrampilan tinggi. Namun, kekaguman itu tanpa passi karena sering juga pahlawan itu canggih dalam bidang-bidang yang sebenarnya tidak penting. Misalnya, kekaguman terhadap orang yang berjalan mundur sekian ribu kilometer. Dengan ini mau ditekankan bahwa pahlawan dalam dunia modern tidak lagi merupakan symbol kesungguhan moral dan heroisme eksistensial, melainkan sekedar symbol prestasi. Anehnya, pahlawan jenis inilah yang lebih popular. Kenyataan ini menurut Kierkegaard menunjukan kedangkalan hidup manusia modern.

Pengaruh negatif kelima dari budaya massa berkaitan dengan implikasi dari ideal persamaan derajat manusia. Dalam ideal itu, diyakini bahwa semua orang memiliki hak yang sama. Akibatnya, semua orang harus memberi andil bagi hidup bersama; misalnya dalam pemerintahan. Ini, sangat dimungkinkan dalam dunia modern oleh perkembangan pers. Pers menjadikan suara publik menentukan sesuatu secara efektif, meski pada taraf non formal. Pers memungkinkan massa menjadi konsep abstrak, menjadi publik yang berisikan individu-individu yang tidak real dan tak bisa diorganisasikan. Ironisnya, publik memiliki kekuatan pengaruh yang sangat mutlak. Individu sangat diagungkan dalam imajinasi, tapi dalam kenyataan konkret, ia tak punya arti.

Dalam konteks budaya modern semacam inilah Kierkegaard membangun filsafat khasnya. Ia menghimbau individu untuk hidup berdasarkan eksistensi yang lebih bertanggungjawab dan tidak larut dalam budaya massa. Ia ingin agar individu menjadi subyek yang otentik. Persisnya, menurut dia, untuk mencapai subyek yang otentik itu tidak hanya dengan cara menguasai realitas secara rasional dan konseptual, tidak juga sekedar refleksi intelektual, tapi harus melalui pilihan, keputusan, dan komitmen yang dilandasi oleh passi, antusiasme, rasa, dan kehendak bebas.

Konsep Eksistensi Menurut Søren Kierkegaard

Cetusan “eksistensi” yang dipondasikan oleh Kierkegaard bertitik tolak dari gagasannya tentang manusia sebagai individu atau persona yang bereksistensi dan konkrit. Ia melihat bahwa hal yang paling mendasar bagi manusia adalah keadaan dirinya atau eksistensi dirinya. Menurut Kierkegaard, eksistensi hanya dapat diterapkan kepada manusia sebagai individu yang konkrit, karena hanya aku individu yang konkrit ini yang bereksistensi, yang sungguh-sungguh ada dan hadir dalam realitas yang sesungguhnya. Oleh karena itu, aku yang konkrit ini tidak dapat direduksi kepada realitas-realitas lain, sebab jika aku yang konkrit ini direduksi ke dalam realitas-realitas yang lain itu, maka realitas diriku yang sesungguhnya sebagai individu yang bereksistensi tercampur dengan realitas-realitas itu. Dengan demikian, aku individu yang konkrit ini tidak memiliki kebebasan untuk mengembangkan dan mewujudkan diriku sebagaimana adanya karena aku tergantung kepada realitas-realitas itu. Ketergantunganku kepada realitas-realitas itu membuat aku tidak bisa untuk merealisasikan diriku sebagaimana aku kehendaki. Padahal menurut Kierkegaard, eksistensi manusia justru terjadi dalam kebebasannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline