Lihat ke Halaman Asli

Rais syukur Timung

Pena Nalar Pinggiran

Menolak Lupa, 16 Tahun Misteri Kematian Munir

Diperbarui: 9 September 2020   13:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok.era.id

Di udara, Munir meregang Nyawa.

16 tahun sudah kegetiran itu bermukim. Sungguh, tempo yang tak singkat, bagi sebuah negara yang mencitradirikan, dirinya sebagai negara Hukum. Bahkan, kabarnya Hukum adalah Panglima tertinggi.

Cak Munir, terlalu berisik dengan ketidakadilan. Cak Munir, terlalu Risau dengan kemanusiaan. Tubuh Cak Munir memang kecil. Tetapi, Tak sekecil keberaniannya dalam meneriakkan Kebenaran yang menggelagar. Sehingga, perlu konspirasi politik level kakap, untuk meregangkan Nyawanya.

Cak Munir, di Racun. Dengan racun yang tingkat kematiannya sangat Fatal. Racun Arsenik, bersarang di tubuh kecilnya.

Sudah 16 tahun, negeri ini masih gagap membuktikan, Siapa Otak Intelektual, atas Kematian Cak Munir. Penuntasan kasusnya pun, sebatas jargon dan Janji. Padahal, Matinya terorganisir dan sistemik.

Kita bisa memperingati kematian Munir Said Thalib, sebagai lonceng kematian kemanusiaan dan ketidakadilan di negeri ini, setiap tahunnya. tetapi, siapa yang bisa merasakan, sayatan duka dan luka, kehilangan Seorang Sosok Suami dan Ayah, bagi Istri dan anak-anaknya. Siapaa?. Hampir bisa di pastikan, Tidak ada.

Maka, disitulah peran negara. Negara harus hadir sebagai pelipur lara. sebagai penyejuk. Sebagai penenang jiwa nelangsa, atas kehilangan seorang suami. Seorang ayah. Seorang pejuang Keadilan dan kemanusiaan.

Jika negara latah dan memilih bungkam. maka, yakin saja, luka itu akan tetap menganga dan sayatannya, menjadi dendam bagi benih-benih Cak Munir yang mulai menguncup.

Sudah 16 tahun, negara ini abai, Cak Munir. Mereka memang lupa, bahwa sesungguhnya kebenaran, selalu tak tertakar oleh apapun.

Kata Cak Munir dahulu, bahwa "Kita harus, lebih takut dari rasa takut itu sendiri. Karena, ketakutan bisa menghilangkan Akal sehat dan kecerdasan". Seperti, ketakutan tak akan makan, ketika melawan pragmatisme kekuasaan. Atau Ketakutan tak akan hidup, ketika meneriakkan kebenaran.

Kawan, kita harus bersikap tenang, walaupun takut, untuk membuat semua orang tidak takut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline